“Praktek Istinbath Hukum Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Tulungagung”
ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Praktek Istinbath Hukum Bahtsul
Masail Pondok Pesantren Al Falah
Trenceng Tulungagung” ini ditulis oleh Robeth Uhailal Fikri, NIM. 2822123034,
pembimbing Dr. H. Ahmad Muhtadi Ansor, M.Ag.
Penelitian ini dilatar belakangi
permasalahan–permasalahan kontemporer yang terus berkembang yang ada di masyarakat sehingga para santri ikut andil
dalam memecahkann suatu masalah yang berkaitan dengan masalah-masalah aktual
yang dinamis dan progesif di masyarakat.
Fokus penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah (1) Bagaimana Praktek Istinbath
Hukum Bahtsul masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Tulungagung? (2)
Bagaimana
Prosedur Istinmbath Hukum Bahtsul Masail
Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Tulungagung? (3) Kitab-kitab apa yang dijadikan sumber hukum Bahtsul
masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng
Tulungagung Al Falah Trenceng Tulungagung? Adapun yang menjadi tujuan dalam
penulisan skripsi ini adalah (1) Untuk mengetahui Praktek
Istinbath Hukum Bahtsul
masail Pondok Pesantren Al Falah
Trenceng Tulungagung (2) Untuk mengetahui prosedur Istinmbath Hukum Bahtsul Masail
Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Tulungagung (3) Untuk mengetahui itab-kitab apa yang dijadikan sumber hukum Bahtsul
masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng
Tulungagung Al Falah Trenceng Tulungagung.
Dalam Penelitian ini digunakan jenis penelitian”Field
Research” atau penelitian lapangan, yaitu telaah yang di laksanakan untuk
memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelaah kritis yang
mendalam terhadap fenomena atau kejadian-kejadian yang terjadi di suatu
masyarakat/disebuah lembaga. Sumber data dari penelitian ini terdiri dari dua
sumber data, yang pertama sumber data primer yaitu, data yang diperoleh
dari wawancara dengan pengasuh, dewan pengurus Bahtsul masail dan para
peserta Bahtsul masail. Dan Sumber data yang kedua adalah sumber
data sekunder yaitu, data yang diperoleh dari literatur atau karya tulis
lainnya yang berkaitan dengan materi sebagai pelengkap. Sedangkan untuk
menganalisa data penulis menggunakan metode deskriptif yaitu mengambil masalah
atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada
saat penelitian dilaksanakan.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nahdlatul Ulama’ disingkat NU,yang merupakan suatu jam’iyah Diniyah Islamiyah yang berarti Organisasi Keagamaan Islam. Sejak berdirinya sudah menjadikan faham Ahlussunnah wal Jamaah sebagai sebagai basis teologi dan menganut dari salah satu empat madzhab: Maliki, Hanbali, Hanafi Syafi’i sebagai rujukan fiqh.
Dengan mengikuti Madzhab fiqh ini, menunjukkan elastilitas dan Fleksibelitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih madzhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuan (hajjah) meskipun kenyataan keseharian ulama’ NU menggunakan fiqh Masyarakat Indonesia yang bersumber dari madzhab Syafi’i. Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan ulama’ NU dan Kalangan pesantren selalu bersumber dari Madzhab Syafi’i.
Fiqh sendiri merupakan ilmu tentang masalah-masalah syar’iyyah praktis yang berkenaan dengan ‘ibadat (peribadatan), mu’amalat (transaksi dalam masyarakat), munakahat (pernikahan) dan ‘uqubat (hukuman). Sedangkan fiqh yang dipahami NU sebagai suatu ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan amal praktis yang di ambil dan disimpulkan dari dalil-dalil tafshily (terperinci), adalah fiqh yang diletakkan oleh para mujtahid pada dasar-dasar pembentukannya, yaitu al-Quran, al-Sunnah, ijma’ dan qiyas.
Peran fiqh dalam kehidupan masyarakat muslim, termasuk warga NU, tidak dapat di pungkiri. Al-Maududi menjelaskan urgensi syari’ah dalam kehidupan, termasuk fiqh, karena sasaran syari’ah yang utama adalah membangun kehidupan manusia berdasarkan kebaikan dan menyucikannya dari kemunkaran. Syari’ah berusaha membasmi kejahatan dalam tatanan sosial dengan melarang keburukan, menjelaskan semua penyebab tumbuh dan berkembangnya kejahatan, menutup lubang-lubang masuknya kejahatan dalam masyarakat yang dapat meracuni umat manusia.
Konsekuensi logis mirip dari prinsip syari’ah yang berusaha membersihkan manusia dari kemunkaran dan menuntun ke jalan yang benar secara teratur, kontinyu dan menyeluruh dalam masyarakat, sehingga akan menjadi kebiasaan dan tradisi yang melekat dalam prilaku keseharian.
Perubahan zaman yang serba dinamis, yang terkadang bersebrangan dengan nilai agama membuat ulama’ NU selaku ormas islam untuk memberikan fatwa-fatwa sesuai dengan keyakinan bermadzhab yang mereka anut dengan berbagai pertimbangan. NU dengan keyakinan bermadzhabnya mampu menyelesaikan problematika yang terjadi diumat islam, para imam madzhab yang empat dipandangan ulama’ indonesia mempunyai kualifikasi sebagai mujtahid mutlak, dan sangat layak sebagai sandaran umat islam untuk mengikuti ajaran agama islam terutama yang berkenaan dengan hukum fiqh. Maka dari itu dengan segala partisipasinya kepada umat, NU beristinbath untuk menjawab segala tantangan-tantangan dan perkembangan agama melalui majelis musyawarah Bahtsul Masail.
Bahtsul Masail adalah forum yang membahas masalah-masalah yang belum ada dalilnya atau belum ketemu solusinya. Masalah tersebut meliputi masalah keagamaan, ekonomi, politik, budaya dan masalah-masalah lain yang tengah berkembang di masyarakat. Masalah tersebut dicarikan solusinya yang diambil dari Kutubul Mu’tabaroh.
Di kalangan Nadlatul Ulama’, Bahtsul Masail merupakan tradisi intelektual yang sudah berlangsung lama. Sebelum Nahdlatul Ulama’ (NU) berdiri dalam bentuk organisasi formal (jam’iyah), aktivitas Bahtsul Masail telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah masyarakat muslim nusantara, khususnya kalangan pesantren. Hal itu merupakan tanggung jawab ulama’ (Kiai) dalam membimbing dan memandu kehidupan keagamaan masyarakat sekitarnya.
Di pondok pesantren, Bahtsul Masail menjadi salah satu forum diskusi yang sering dilakukan oleh para santri, dengan eksistensi memecahkan sebuah masalah baik itu yang sudah terungkap dalam ta’bir-ta’bir kitab salaf atau masalah-masalah kekinian yang belum terdeteksi hukumnya. Istilah bahsul masail lebih akrab dikenal di kalangan Nahdlatul Ulama’ organisasi ini mewadahi permasalahan-permasalahan umat lewat forum bahsul masail, yang di kendalikan oleh orang-orang pesantren yang notabene mereka adalah orang-orang yang menekuni bidang agama dan faham betul dengan masalah-masalah agama. bahsul masail bukanlah ajang debat kusir yang tak ada gunanya atau ajang untuk mempertontontonkan kemampuan masing-masing, namun forum bahsul masail murni diadakan untuk menjembatani seluruh problema masyarakat yang kian lama kian rumit dan kompleks.
Sebagaimana yang telah berlangsung selama ini forum-forum Bahtsul Masail pada setiap daerah mulai dari tingkat kabupaten, provinsi sampai kepulaun, seperti LBM (Lajnah Bahtsul Masail) Jombang, Mojokerto, Kediri, Surabaya yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama’ mulai dari tingkat Ranting, MWC, Cabang, Wilayah maupun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ mempunyai agnda khusus kegiatan Bahtsul Masail atau antar pondok pesantren, seperti FMPP (Forum Musyawarah Pondok Pesantren), FMP3 (Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri) se-Jawa-Madura. Ini adalah merupakan forum-forum pertemuan yang mewadahi para pakar ilmu agama untuk menyumbangkan keilmuannya demi kemaslahatan umat. Oleh karena itu setiap hasil Bahtsul Masail akan ditindak lanjuti kepada pihak yang berwajib untuk disebarkan kemasyarakat serta dibukukan agar masyarakat bisa mengerti aturan hukum atas problema-problema yang mereka hadapi.
Bahtsul Masail diselenggarakan hampir oleh seluruh pondok pesantren, ada yang menjadi program harian, mingguan, bulanan bahkan tahunan, tergantung dari jadwal yang dibuat oleh pengurus pondok setempat. Bahtsul Masail sebagai wadah diskusi yan paling efektif di pondok pesantren, dengan adanya Bahtsul Masail santri bisa lebih berkembang dalam pemikiran dan pengetahuanya untuk memahami masalah–masalah agama yang di hadapi masyarakat yang bersifat modern. Seperti yang kita temui banyak permasalahan kontemporer yang belum terbahas secara mendetail di dalam al-Quran dan al-Hadist maupun ijma’, sehingga dengan adanya Bahtsul Masail permasalahan–permasalahan tersebut bisa terjawab secara mendetail menggunakan metode–metode yang ada di dalam Bahtsul Masail.
Dari segi historis maupun operasionalitas, Bahtsul Masail NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan berwawasan luas. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masail) yang digarap selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun yang muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan berwawasan luas sebab di dalam Bahtsul Masail tidak ada dominasi madzhab dan selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh yang menunjukkan fenomena ‘’sepakat dalam khilaf‘” ini menenai status hukum dalam bunga Bank. Dalam memutuskan masalah krusial ini tidak pernah ada kesepakatan. Ada yang mengatakan halal, haram dan syubhat. Itu terjadi sampai Muktamar NU tahun 1971 di surabaya. Muktamar tersebut tidak mngambil sikap. Keputusanya masih tiga pendapat: halal, haram, syubhat. Ini sebetulnya langkah antisipatif NU. Sebab ternyata setelah itu berkembang berbagai Bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara operasional. Masyarakat pada akhirnya tidak menghindar dari persoalan Bank. Terakhir muncul apa yang disebut Bank Islam, dan masyarakat muslim masih bisa memilih.
Bahtsul Masail juga di gemari oleh para santri karena di dalam nya santri dan santri yang lain bisa saling beradu argument tentang masalah yang di bahas dan saling menguatkan pendapatnya masing–masing, dan masing masing mempunyai dasar untuk mempertahankan argumentnya, dengan cara ini santri bisa menambah wawasan ilmu dalam hal kecerdasan intelektual maupun emosional.
Pondok Pesantren Al Falah Trenceng sebagai salah satu pesantren yang ada di Desa Bendil Wungu Kecamatan Bendil Wungu Kabupten Tulungagung yang salah satunya sistem belajarnya menggunakan Bahtsul Masail dalam memecahkan masalah–masalah yang aktual yang ada di masyarakat modern. Oleh karena itu peneliti ingin mengkaji lebih jauh tentang Bahtsul Masail yang ada di Pondok pesantren Al Falah Trenceng Kecamatan Bendil Wungu untuk memenuhi tugas mata kuliyah ujian sekripsi yang berjudul PRAKTEK ISTINBATH HUKUM BAHTSUL MASAIL PONDOK PESANTREN AL FALAH TRENCENG BENDIL WUNGU TULUNGAGUNG. Adapun peneliti memilih lokasi Pondok Pesantren Al Falah Trenceng karena pondok tersebut adalah pondok pesantren yang terbaik yang ada di kabupaten Tulungagung dan jumlah santrinya cukup banyak, dan di pondok tersebut juga terdapat Bahtsul Masail tingkat profinsi, biasanya disebut FMPP (Forum Musyawarah Pondok Pesantren) se Jawa Madura.
Dalam penelitian ini peniliti memilih tema Bahtsul Masail bukanya istighosah, manaqib atau kegiatan yang lain, karena sistem Bahtsul Masail sebagai sistem belajar yang sangat efektif bagi para santri, untuk menguji berapa besar keilmuan dan pemahaman santri terhadap kitab-kitab yang pernah di kaji di pondok-pondok pesantren, seperti kitab Fiqh, Nahwu, Balaghoh, Manthiq, Usul fiqh, Qowaidul fiqhiyyah, Qowaidu Shoroffiyyah.
Bahtsul Masail adalah forum yang membahas masalah-masalah fiqh yang belum dibahas secara mendetail di dalam al-Quran karena di dalamnya terdapat lafadz yang masih ‘Amm (global) yang butuh penjelasan-penjelasan menggunakan instrumen-intrunmen yang mendukung salah satunya intrumen yang paling penting adalah al-Hadist serta perangkat-perangkat untuk bisa memahami al-Quran maupun al-Hadist seperti ilmu Nahwu, Qowaid al-shoroffiyah, Lughot al-Arobiyyah, Qowaidul fiqhiyyah Balaghoh, Asbab al-Nuzul, Asbab al-Wurud, dll. Ini hampir sama dengan persyaratan mujtahid yang syarat-syaratnya cukup ketat, oleh karena itu santri/kiai lebih memilih menggunakan kitab fiqh yang langsung jadi, daripada menggali hukum yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadist secara langsung.
Sementara itu santri/kiai menggunkan forum Bahtsul Masail bertujuan untuk membahas masalah-masalah, waqiiyah yang dicarikan dalilnya didalam kitab-kitab fiqh yang populer disebut dengan kutubul mu’tabaroh ‘ala madzahibul arba’ah. Dan didalam kitab tersebut terdapat banyak perbedaan pendapat (khilafiyyah) antara pendapat yang satu dengan yang lain, ada yang membolehkan, ada yang memakruhkan, bahkan ada yang mengharamkan, oleh karena itu perlu dibahas bersama santri dengan santri yang lain (musawirin) menggunakan metode-metode tertentu, mana pendapat yang lebih kuat dan mana pendapat yang lemah, dengan adanya pembahasan ini para santri bisa saling mufakat dan membuahkan hasil keputusan yang memuaskan.
Sedangkan kegiatan manaqib, istighosah atau yang lain, bisa disebut kegiatan yang berkaitan dengan masalah spiritual yang berkaitan dengan doa, dzikir, tawasul, baik secara individual maupun kelompok (jamaah) yang tidak perlu diperdebatkan secara panjang lebar oleh kalangan santri (musawirin karena sudah jelas kebolehanya.
Fokus Penelitian
Bagaimana Praktek Istinbath Hukum Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Bendil Wungu Tulungagung ?
Bagaimana Prosedur Istinbath Hukum Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Bendil Wungu Tulungagung?
Kitab-kitab apa saja yang dijadikan sumber rujukan hukum Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Bendil Wungu Tulungagung.?
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui Praktek Istinbath Hukum Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Bendil Wungu Tulungagung.
Untuk mengetahui Prosedur Istinbath Hukum Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Bendil Wungu Tulungagung
Untuk mengetahui Kitab-kitab yang dijadikan sumber rujukan hukum Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Bendil Wungu Tulungagung
Kegunaan Penelitian
Secara teoritis, menambah wawasan keilmuan dan khazanah ilmiah keagamaan dalam bidang Istinbath Hukum Bahtsul Masail
Secara praktis, memberikan kontribusi pemikiran sebagai bahan acuan untuk memecahkan persoalan-persoalan aktual yang ada di masyarakat menggunakan Ptraktek Istinbath Hukum Bahtsul Masail
Penegasan Istilah
Agar mudah dipahami dan di mengerti peneliti akan mengemukakan istilah dari kajian pembahsan ini terutama pada poin–poin yang akan dibahas di dalam skripsi, yaitu sebagai berikut:
Penegasan Konseptual
Istinbath Hukum Bahtsul Masail adalah: mengambil hukum bukan secara langsung dari sumber aslinya , yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetapi sesuai dengan sikap bermadzhab men-tabiq-kan (memberlakukan) secara dinamis nass-nass fuqoha’ dalam konteks permasalahan yang di cari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama cenderung ke arah perilaku ijtihad, oleh ulama’ NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus di kuasai oleh seorang mujtahid.
2. Penegasan Operasional
Dalam Penelitian ini Peneliti ingin mengadakan penelitian di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Desa Bendil Wungu Kecamatan Bendil Wungu Kabupaten Tulungagung tentang bagaimanakah Praktek Istinbath Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Bendil Wungu Tulunggung dan prosedur yang digunakan dalam istinbath hukum Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Bendil Wungu Tulunggung beserta kitab-kitab apa yang digunakan dalam Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Bendil Wungu Tulunggung.
Sistematika Pembahasan
Susunan karya ilmiah akan teratur secara sistematis dan terurut serta alur penyajian laporan penelitian lebih terarah maka diperlukan sistematika penulisan. Adapun sistematika pembahasan skripsi dalam penelitian ini sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan, dalam bab ini peneliti memaparkan tentang: latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah dan yang terakhir sistematika pembahasan.
Bab II berisi kajian pustaka, dalam bab ini peniliti memaparkan tentang istinbath, Bahtsul Masail, penelitian terdahulu yang keseluruhanya terdiri dari: pengertian istinbath secara umum, syarat-syarat istinbath, sumber hukum dalam istinbath, sejarah Bahtsul Masail, istinbath hukum Bahtsul Masail, prosedur pengambilan hukum Bahtsul Masail, metode istinbath hukum Bahtsul Masail, kitab mu’tabaroh Bahtsul Masail.
Bab III berisi metode penelitian, dalam bab ini peniliti memaparkan tentang: pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, kehadiran penilit, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, pengecekan keabsahan temuan, dan tahap–tahap penelitian.
Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan, dalam bab ini peniliti memaparkan tentang: paparan data, temuan penelitian dan pembahasan temuan penelitian, yang terkait dengan fokus penelitian secara keseluruhan yang terdiri dari: sejarah Pondok Pesantren Al Falah Trenceng Bendil Wungu Tulungagung, praktek istinbath hukum Bahtsul Masail Bendil Wungu Tulungagung, prosedur istinbath hukum Bahtsul Masail Bendil Wungu Tulungagung, sumber kitab-kitab rujukan Bahtsul Masail Bendil Wungu Tulungagung.
Bab V berisi penutup, dalam bab ini peneliti mengemukakan kesimpulan hasil penelitian secara keseluruhan dan saran-saran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Istinbath
Pengertian Istinbath
Istinbath” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”. Sedangkan secara istilah adalah “mengeluarkan hukum-hukum fiqh dari al-Qur’an dan al-Sunnah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul”.
Dalam hal ini, arti istinbath menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.
Dalam penetapan hukum Islam sumber rujukan utamanya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedang sumber sekundernya adalah ijtihad para ulama. Setiap istinbath (pengambilan hukum) dalam syari’at islam harus berpijak atas al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara’ ada dua macam, yaitu: nash dan goiru al-nash. Dalam menetapkan suatu hukum, seorang ahli hukum harus mengetahui prosedur cara penggalian hokum (thuruq al-istinbath) dari nash. Cara penggalian hokum (thuruq al-istinbath) dari nash ada dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan makna (thuruq al-ma’nawiyah) dan pendekatan lafazh (thuruq al-lafzhiyah). Pendekatan makna adalah (istidlal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung, seperti menggunakan qiyas, Istihsan, istislah (mashalih al-mursalah), dan lain sebagainya.
Tujuan istinbath hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat para ahli fiqh dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu. Jika seorang ahli fiqh menetapkan hukum syariah atas perbuatan seorang mukallaf, ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum dengan sumber hukum yang terdapat di dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul fiqh.
Syarat-Syarat Istinbath
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath adalah sebagai berikut :
Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum.
Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.
Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma’.
Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbath hukum.
Mengetahui ilmu logika, agar dapt mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur’an dan al-Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dll.
3. Sumber Hukum dalam Istinbath
a. Dalil Naqli
1. Al-Qur’an
Secara etimologis kata al-Qur’an merupakan isim mashdar dari fiil madhi ‘’قرأ‘’yang artinya membaca, menelaah, mempelajari, menyampaikan, mengumpulkan. Dan al-Quran, keduanya merupakan isim masdar dari qoroaقرأ))yang artinya pembacaan/bacaan.
Adapun secara terminologis menurut ahli ushul fiqh yaitu;
أنه الكلام المعجز المنزل على النبي صلى الله عليه والسلام المكتوب في المصاحف المنقول بااتواتر المتعبد بتلاوته.
Artinya ;
Al-Qur’an itu adalah kalam Alloh yang menjadi mu’jizat yang di turunkan kepada Nabi SAW yang di tuliskan di mushaf, yang di nukilkan secara mutawatir, dan di pandang sebagai ibadah bagi yang membacanya.
Pada garis besarnya hukum-hukum al-Qur’an di bagi menjadi dua. Pertama, hukum-hukum untuk menegakkan agama, yang meliputi soal-soal kepercayaan dan ibadat. Kedua, hukum-hukum yang mengatur negara dan masyarakat serta hubungan perorangan dengan lainya, yang meliputi hukum-hukum keluarga, keperdataan, kepidanaan, kenegaraan,dan sebagainya.
2. As-Sunnah
Sunnah secara bahasa (etimonologi) berarti jalan baik yang terpuji maupun yang tercela.Dalam terminologi Fiqh, sunnah diartikan sebagai:
ما يقابل الواجب من العبادات
Artinya:
Segala yang behadapan dengan wajib dalam hal ibadah
Adapun dalam peristilihan kaum Ushulliyyin, Sunnah adalah;
ما صدر عن الرسول غير القران
Artinya:
Apa yang bersumber dari Nabi selain al-Quran.
Sunnah dalam pengertian yang lain ialah semua perkataan , perbuatan dan pengakuan Rosullulloh saw yang berposisi sebagai petunjuk dan tasri’ pengertian tersebut menunjukkan adanya 3 bentuk sunnah,masing-masing qouliyah (berupa perkataan) fi’liyah (berupa perbuatan) dan taqririyah (berupa pengakuan/persetujuan terhadap perkataan atau perbuatan orang lain).
3. Ijma’
Secara etimologis ijma’ atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Secara termonologi ijma’ adalah sebagai berikut:
الإجماع هو اتفاق المجتهدين من الأمة الإسلامية في عصرن العصور بعد انبي صلى الله عليه والسلم في حكمي الشرعي في امور من الأمور العملية
Artinya ;
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat islam dari masa kemasa setelah wafat Nabi SAW tentang hukum syara’ dalam pekara-perkara yang bersifat amaliyyah.
Dalam defenisi ijama’ tersebut menjelaskan bahwa kesepakatan mujtahid hanya terbatas dalam ruang lingkup masalah hukum amaliyyah (fiqh) dan tidak menjangkau pada masalah-masalah aqidah.
b. Dalil Aqli
1. Qiyas
Qiyas merupakan metode pertama yang di pegang para ulama’ untuk mengistibathkan hukum yang tidak di terangkandalam nash (al-Quran, al-Hadist), sebagai metode yang terkuat dan paling jelas.Secara etimologis kata qiyas berarti قدر yang artinya mengukur, dan membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya.
Sedangkan qiyas menurut Ulama’ Ushul adalah:
يعرف علماء الأصول القياس بأنه بيان حكم امر غير منصوص علي حكمه بإلحاق أمر معلوم حكمه باالنص عليه في الكتاب أوالسنه ويعرفون ايضا بأنه إلحاق أمر غير منصوص علي حكمه بأمر أخر منصوص علي حكمه للإشتراك بينها في علة الحكم.
Artinya ;
Ulama’ Ushul mendefinisikan qiyas, yaitu menjelaskan hukum suatu masalah yang tidak ada nash hukumnya dianalogikan dengan masalah yang telah diketahui hukumnya melalui nash (Al-Qur’an atau Sunnah). Dan mereka juga mendefenisikan qiyas dengan redaksilain yaitu menganalogikan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya denagan masalah lain yang ada nash hukumya, karena kesamaan ‘ilat hukumnya.
2. Istihsan
Istihsan di pergunakan untuk memaknai apa yang di senangi orang, baik berupa materi atau hal-hal yang bersifat maknawi, meskipun bagi orang lain tidak. Termasuk dalam hal ini apa yang di anggap baik oleh sesorang ahli fiqh/mujtahid berdasarkan pertimbangan logika akal. Tidak terdapat beda pendapat dikalangan para pakar menyangkut tidak dibolehkanya istihsan dalam pengertian demikian, bertolak dari kesepakatan mereka tentang haramnya berpendapat dalam agama menurut hawa nafsu.
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan menurut istilah, istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum istina’i (pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkannya.
Dengan definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Istihsan adalah :
a. Berpindah dari suatu hukum ke hukum yang lain, pada sebahagian perisiwa yang sesuai atau meninggalkan suatu hukum dan mengambil hukum yang lain atau mengecualikan suatu hukum dari hukum yang berlaku umum dengan yang khusus.
b. Berpindah dalam penetapan hukum suatu peristiwa dari hukum ke hukum lain haruslah berdasarkan dalil syar’i, baik merupakan pengertian yang diperoleh dari nas maupun maslahah, atau bahkan merupakan ‘urf
c. Berpindah dalam menetapkan hukum, adakalanya dari hukum yang ditunjuki oleh umum nas ke hukum khusus, adakalanya berpindah dari hukum yang ditunjuki oleh qiyas khafi, dan adakalanya berpindah dari hukum yang dikehendaki oleh penerapan satu kaidah syar’iyah ke kaidah syar’iyah yang lain.
3. Maslahah Mursalah
Dari segi bahasa, kata Al-Maslahah adalah seperti lafazh al-manfa’at, baik artinya ataupun wajah-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah, seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al’naf’u.Secara terminologi, maslahah diartikan sebagai sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang mendatangkan manfaat dan menolakkerusakan/kemadharatan.
Sedangkan maslahah mursalah menurut Ulama’ Ushul adalah: Menetapkan hukum suatu peristiwa hukum yang tidak disebutkan nash, dan ijma’, berlandaskan pada pemeliharaan maslahat mursalah, yaitu maslahat yang tak ada dalil syara’ yang menunjukkan diakuinya atau ditolaknya. Sebagian Ulama’ Ushul menamakanya istishlah (Hanbaliyah) dan sebagian lagi menyebutkan ‘berbuat atas dasar maslahat mursalah (Malikiyah).
4. Saad al-Dzari’ah
Menurut bahasa zariah adalah wasilah /sarana. Sedangkan menurut istilah Ulama’ Ushul ialah sesuatu yang menjadi jalan bagi yang di haramkan atau yang dihalalkan maka di tetapkan hokum sarana itu menurut yang di tijunya. Sarana/jalan kepada yang haram adalah haram dan sarana/jalan kepada yang mubah adalah mubah. Sesuatu yang yang tidak bias dilaksanakan kewajiban kecuali dengan dia, maka maka wajib mengerjakan sesuatu itu. Zina haram, maka melihat kepada aurot wanita yang bisa membawa kepada zina adalah haram pula. Shalat jumat adalah wajib, maka meninggal jual-beli karena hendak melaksanakanya adalah wajib pula.
5. Istishab
Istishab ialah menjadikan lestari keadan sesuatu yang sudah di tetapkan pada masa lalu sebelum ada dalil yang mengubahnya. Jadi, apabila sudah ditetapkan suatu perkara pada sesuatu waktu maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu, sebelum ada dalil baru yang mengubahnya, sebaliknya apabila sesuatu perkara telah ditolak pada sesuatu waktu, maka penolakan tersebut tetap berlaku sampai akhir masa, sebelum terdapat dalil yang menerima (mentasbithkan) perkara itu.
Menurut istilah Ulama’ Ushul, ialah penatapan terhadap sesuatu berdasarkan keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan tersebut. Atau menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa lalu secara abadi berdasarkan keadaan, hingga terdapat dalil yang menjunjukkan adanya perubahan.
Dengan definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Istihsan adalah :
Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tatap berlaku pada masa sekarang, kecuali jika da yang telah mengubahnya.
Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa lalu.
6. Urf
Dari segi bahasa (etimologi), ‘urf merupakan isim masdar dari fiil madli(عرف) yang berarti “kenal”. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal atau pengetahuan), ta’rif (definisi), ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan,ucapan,perbuatan,atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat, ‘urf sering disebut adat.
Dengan definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Urf adalah kebiasaan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian menjadi adat istiadat secara turun menurun baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, baik yang umum maupun yang khusus. Urf perbuatan misalnya, akad jual beli cukup dengan barter (mu’athah) tanpa persetujuan jual beli secara tertulis atau lisan (shigah lafdhiyyah).
7. Qoul Sahabi
Sebelum penulis mendefinisikan tentang qaul as-shahabi penulis terlebih dulu ingin membahas mengenai defenisi dari as-shahabi itu sendiri. As-shahabi secara bahasa (etimologi) merupakan isim masdar dari bentuk fiil madli “صحبِ “yang artinya teman/sahabat.
Adapun secara istilah (terminologi), menurut para muhadditsinas-shahabi adalah orang yang bertemu dengan Nabi Saw., beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam.
Sedangkan menurut para Ushuliyyin bahwa sahabat adalah setiap orang yang beriman kepada Nabi Saw., bergaul dengannya dalam waktu yang lama dan mati dalam keadaan Islam.
Dan menurut istilah (termonologi) qoul shohabi adalah Perkataan seorang sahabat yang tersebar pada sahabat-sahabat yang lainnya tanpa diketahui ada sahabat lain yang menentangnya.Adapun pengertian yang lain menyebutkan Fatwa seorang sahabat atau madzhab fiqhnya dalam permasalahan ijtihadiyah.dan ada juga yang menyebutkan Madzhab sahabat dalam sebuah permasalahan yang termasuk objek ijtihad.
Dari beberapa definisi qaul as-shahabi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa qaul as-shahabi adalah fatwa/perkatan sahabat yang berkaitan dengan hukum (permasalahan dalam ijtihad dalam suatu madhab) tanpa diketahui ada sahabat yang lain menentangnya.
Bahtsul masail
Sejarah Bahtsul masail
Bahtsul masai lmerupakan bentuk ringkas dari Bahts al-masail al diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan). Bahtsul masail adalah suatu forum yang membahas masalah-masalah yang belum ada dalilnya atau belum ketemu solusinya. Masalah tersebut meliputi masalah keagamaan, ekonomi, politik, budaya dan masalah-masalah lain yang tengah berkembang di masyarakat. Masalah tersebut dicarikan solusinya yang diambil dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ (Kespakatan Ulama)’ dan kitab-kitab ulama. Kegiatan ini kemudian diberi wadah tersendiri yaitu lembaga Bahtsul masail. Yang disingkat LBM yang bertugas menampung, membahas dan memecahkan permasalahan-permasalahan keagamaan yang mawduiyyah (konseptual) dan masalah-masalah waqiiyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum.
Forum ini biasanya diikuti oleh syuriah dan ulama’ NU yang berada diluar struktur organisasi, termasuk didalamya para pengasuh pondok pesantren. Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian-kejadian yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan oleh anggota masyarakat yang diajukan oleh syuriah oleh organisasi atau perorangan. Masalah-masalah itu setelah diiventaris oleh syuriah lalu diadakan sekala prioritas pembahasanya dan apabila dalam pembahasan itu terjadi kemacetan (mauquf) maka akan diulang pembahasanya dan kemudian dilakukan tingkat organisasi yang lebih tinggi: Dari Ranting ke Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah Kepengurus Besar dan dari PB ke Munas dan pada akhirnya ke-Muktamar.
Tingkat muktamar diselenggarakan 5 tahun sekali yang dihadiri oleh pengurus pusat, wilayah, cabang,. Seluruh permasalahan diputuskan oleh para ulama-ulama NU yang berkompeten dibidangnya. Pada tingkat muktamar tidak hanya memperbincangkan masalah agama saja akan tetapi lebih dari itu Tingkat muktamar lebih jauh membahas program pengembangan NU, laporan-laporan pertanggung jawaban NU.
Disamping muktamar, Bahtsul masail NU terdiri dari Munas (Musyawarah Nasional) Alim Ulama. Bahtsul masail tingkat Munas dihadiri oleh alim ulama, pengasuh pondok pesantren yang berkompeten dalam bidangnya baik pengurus maupun diluar pengurus NU, dimana munas diselenggarakn oleh pengurus besar Syuriah yang dipimpin oleh Rais Aam sebagai pimpinan NU tertinggi. Adapun pelaksanaan Munas dilaksanakan dalam satu tahun sekali. Permasalahan-permasalahan yang di bahas dalam Munas dikhususkan untuk permasalahan agamut yang menyangkut kehidupan umat dan bangsa.
Permusyawaratan lain yang setingkat dengan Munas Alim-ulama adalah Konfrensi Besar. Permusyawaratan ini diadakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (tingkat pusat) atau direkomendasikan oleh sekurang-kurangnya separoh dari jumlah Pengurus Wilayah (tingkat propinsi) yang sah dan merupakan instansi permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar. Konfrensi ini dihadiri oleh Pengurus Wilayah untuk membicarakan, mengevaluasi dan monitoring pelaksanakan keputusan Muktamar, mengkaji perkembangan organisasi dan peranannya di masyarakat, serta membahas masalah-masalah sosial dan keagamaan baik yang bersifat wāqi’iyyah ūiyyah (tematik), maupun qānūniyyah (peraturan, kasuistik, dan perundang-undangan).
Secara historis, forum Bahtsul masail sudah ada sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Dalam buletin LINO, selain memuat hasil, Bahtsul masail juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis ditanggapi kiai lain, begitu seterusnya.Akan tetapi ciri khas yang paling mendasar di forum Bahtsul masail NU adalah mempunyai struktur yang jelas dalam berdiskusi untuk memecahkan permasalahan agama. Untuk itu NU selaku organisasi islam yang dikelola oleh alim ulama dan cendekiawan muslim yang berlatar belakang dari kalangan pesantren mempunyai ciri khas kepesantrenan untuk memecahkan dalam berbagai masalah yaitu keterikatan dengan paham madzhab. Hal ini berbeda dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang tidak terikat dengan madzhab dalam menyelesaikan permasalahan agama yang sedang berkembang.
Meskipun kegiatan Bahtsul masail sudah ada konggres/muktamar 1, institusi Lajnah Bahtsul masail baru resmi ada pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta 1989 M. Ketika itu Komisi I (Bahsul Masāil,) merekomendasikan kepada Pengurus Besar NU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masāil, ad-Diniyyah (lembaga kajian masalah-masalah keagamaan) sebagai lembaga permanent yang khusus menangani persoalan-persoalan keagamaan. Rekomendasi tersebut kemudian didukung oleh forum halaqah (sarasehan) pada tanggal 26-28 Januari 1990 bertempat di Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar, Jombang, Jawa Timur yang juga merekomendasikan terbentuknya lembaga tersebut dengan harapan dapat menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk melakukan ikhtiyar istinbath jama’i (penggalian dan penetapan hukum secara kolektif). Kemudian pada tahun 1990 M. terbentuklah sebuah institusi yang bernama Lajnah Bahsul Masāil, ad-Diniyyah tersebut berdasarkan Surat Keputusan PBNU Nomor 30/A.I.05/5/1990.
Institusi tersebut bertugas mengkoordinasikan kegiatan kajian-kajian seputar masalah-masalah keagamaan yang bersifat fiqh. Kegiatannya meliputi pengumpulan masalah dari warga sampai dengan menyelenggarakan forum kajian untuk membahas masalah-masalah yang telah diinventarisasi sebelumnya
Sedangkan topik khusus yang dikaji dalam LBM NU adalah Masail Diniyah. Masail Diniyah LBMNU mempunyai tiga Komisi:
1. Masail Diniyah Waqi’iyah, yakni permasalahan kekinian yang menyangkut hukum suatu peristiwa. Misal bagaimana hukum orang Islam meresmikan gereja?
2. Masail Diniyah Maudhu’iyah, yakni permasalahan yang menyangkut pemikiran. Misalnya fikrah Nahdliyah, Globalisasi.
3. Masail Diniyah Qanuniyah, penyikapan terhadap rencana UU yang diajukan pemerintah atau UU peralihan yang baru disahkan. Komisi ini bertugas mengkaji RUU atau UU baru dari sisi agama, untuk diajukan kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan koreksi.
Dalam pengkajian fiqh, terutama dalam Bahtsul masail NU menganut aliran bermadzhab, yaitu mengikuti salah satu dari salah satu imam mujtahid Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Menurut Hasyim Asy’ari dengan mengikuti pendapat imam madzhab yang empat akan mendapatkan kemaslahatan bagi umat islam yant tidak terhitung bagi umat islam, sebab hukum islam tidak akan dapat dipengerti melalui pengambilan dan pemindahan hukum Al-Ahkam Istinbath. Al-Ahkam Istinbath untuk mencapai kebenaran harus mengenali pendapat-pendapat sebelumnya supaya tidak keluar dari ijma’. Dalam Undang-Undang Dasar NU disebutkan bahwa barang siapa menyebutkan ilmu yang tidak menyebutkan sanadnya dia seperti pencuri.
Dengan demikian Lajnah Bahtsul masail merupakan forum resmi yang memiliki kewenangan menjawab berbagai masalah keagaman yang di hadapi warga Nahdliyin. Bahkan tradisi keilmuan NU juga di pengaruhi oleh keputusan Bahtsul masail, karena segala permasalahan keagamaan yang dihadapi oleh NU, dikaji dan di beri keputusan oleh forum ini kemudian ditaransmisikan kepada warganya.
Istinbath Hukum Bahtsul masail
Pengertian istinbath hukum dikalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya , yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetapi sesuai dengan sikap bermadzhab men-tabiq-kan (memberlakukan) secara dinamis nass-nass fuqoha’ dalam konteks permasalahan yang di cari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama cenderung ke arah perilaku ijtihad, oleh ulama’ NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus di kuasai oleh seorang mujtahid. Sementara itu istinbath dalam pengertianya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan semua oleh ulama’ NU yang telah memahamai ibarat-ibarat kitab fiqh sesuai dengan termonologinya yang baku. Oleh karena itu kalimat istinbath dikalangan NU terutama dalam kerja Bahtsul masail syuriah tidak populer di kalangan ulama’ NU dengan konotasinya yang pertama ijtihad, suatu hal yang oleh ulama; syuriah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya kalimat Bahtsul masailyang artinya membahas masalah–masalah waqii’ah (yang terjadi) melalui refrensi (mara’ji’) yaitu kutubul fuqoha’ (kitab-kitab karya ahli fiqh).
Dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumber-sumbernya di atas, NU tidak melakukannya secara langsung melalui ijtihad para ulamanya, melainkan dengan menggunakan pendekatan madzhab. Khusus dalamn bidang fiqh, NU mengikuti salah satu di antara keempat madzhab fiqh yang terkenal (mazahib al-arba’ah). Hal ini telah digariskan dalam pasal 2 dari Anggaran Dasar NU yang pertama yang lebih dikenal dengan sebutan Statuten 1926. Ketentuan pasal 2 ini diperkuat kembali dalam berbagai keputusan muktamar sampai dengan muktamar ke 28 di Yogyakarta.
Memperhatian rumusan yang terdapat dalam Anggran Dasar dimaksud, dapat dipahami bahwa secara teoritis formal NU memiliki pemikiran hukum Islam yang berbeda dengan organisasi-organisasi Islam Indonesia yang lain, yang juga sama-sama mengikatkan diri pada pendekatan madzhab. Sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar, seperti, Al-Jam’iyatul Washliyah dan Nahdlatul Wathan menegaskan keterikatannya hanya pada madzhab Imam Asy-Syafi’i.
Dalam sistem bermadzhab yang dianut oleh ulama’ NU dalam prakteknya tidak selalu merujuk kepada keempat madzhab yang diakuinya. Akan tetapi keputusan yang diambilnya lebih banyak untuk tidak menatakan semuanya, merujuk pada madzhab Syafii,. Dalam merujuk madzhab Syafii-pun ulama’NU tidak mengakses langsung kepada kitab-kitab yang ditulis oleh imam Syafii sendiri seperti kitab al-Umm, Al-Risalah ataupun lainya melainkan merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang disusun oleh ulama’ Syafiiyah yakni ulama yang bermadzhab Syafii.
Namun demikian dalam praktek penetapan hukum Islam di lingkungan NU, perbedaan formal dan teoritis di atas tidak nampak di permukaan. Baik ketiga organisasi di atas, maupun NU, ternyata sama-sama berpegang teguh pada madzhab Asy-Syafi’i. Hal ini dapat dibuktikan dengan menelusuri semua keputusan yang diambil NU dari muktamar-muktamar, yang selalu mengacu kepada kitab-kitab yang disusun dalam madzhab Asy-Syafi’i.
Setidak-tidaknya ada dua alasan pokok mengapa NU hanya menjadikan madzhab Asy-Syafi’i sebagai panutan:
karena madzhab fiqh yang dominan sejak masa-masa awal Islam di Nusantara adalah madzhab Asy-Syafi’i, makadengan alasan praktis sudah sewajarnya apabila rumusan Anggaran Dasar tentang “salah satu dari empat madzhab” diartikan sebagai madzhab Asy-Syafi’i.
pengalaman sejarah berabad-abad dari umat Islam diIndonesia menunjukkan bahwa fiqh Islam versi madzhab Asy-Syafi’i nampak relatif lebih cocok untuk diterapkan di sini.
Dengan kedua alasan pokok ini, di samping alasan-alasan lain, dan ditambah pula dengan adanya kode etik dalam bermadzhab yang tidak memperkenankan talfiq (pemaduan antara dua pendapat dari dua madzhab dalam dua masalah yang masih dalam satu paket amalan), semakin mantaplah keterikatan NU pada madzhab Asy-Syafi’i.
Dalam mengikuti madzhab Asy-Syafi’i, NU dengan Bahtsul masail seperti telah disinggung di atas, selalu merujuk kepada kitab-kitab yang disusun oleh ulama-ulama bermadzhab Asy-Syafi’i (Syafi’iyyah), terutama sekali yang berwujud kitab-kitab fiqh yang terbatas pada kitab-kitab yang pada umumnya ditulis oleh para fuqaha mutaakhkhirin. Kemungkinan besar pertimbangan-pertimbangan praktis banyak menentukan dalam pemilihan kitab-kitab dimaksud adalah bahwa kitab-kitab itu sangat mudah diperoleh, dan selama ini kitab-kitab itu pulalah yang menjadi pedoman bagi warga Nahdliyyin dalam praktek-praktek hukum Islam. Di sisi lain, terdapat pula alasan filosofisdengan berangkat dari asumsi bahwa para penulis kitab fiqh tersebut merupakan juru bicara resmi bagi pemikiran hukum Islam madzhab Asy-Syafi’i. Hal ini dimungkinkan oleh adanya sistem isnad dalam mempelajari masalah agama yang secara tradisional dipegangi dengan setia olehpara ulama di masa lalu, sehingga otentitas penisbatan suatu pendapat (qawl) kepada madzhab pemiliknya dapat dijamin. Oleh karena itu, kendati kitab-kitab dimaksud bukan merupakan karya-karya langsung al Imam Asy-Syafi’i, namun bonafiditasnya sebagai rujukan madzhab Asy-Syafi’i tidak pernah dipertanyakan. Kitab-kitab semacam ini di lingkungan NU dikenal dengan sebutan kutub al-mu’tabarah atau kutub al-mawtsuqun biha, meminjam ungkapan pengarang kitab Bughyatul Mustarsyidin yang sangat populer di kalangan NU.
Dengan memperhatikan kitab-kitab yang selama ini menjadi rujukan Bahtsul masail, dapat dikatakan bahwa sebagian besar kitab-kitab dimaksud merupakan kitab-kitab yang sepi dari pemaparan cara istinbath (penyimpulan hukum) dari dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu dapat dipahami apabila pengertian bermadzhab dalam NU selama ini selalu diartikan sebagai bermadzhab secara qawli, yakni dengan mengambil langsung pendapat-pendapat dari kitab-kitab fiqh karya Syafi’iyyah sebagai rumusan final hukum Islam. Dalam hubungan ini, tidak menjadi perhatian penting umntuk diketahui bagaimanakah latar belakang munculnya rumusan itu dan bagaimana pula proses metodologi yang dilalui, yang sudah barang tentu menyangkut masalah-masalah dasar dalam perangkat kaedah hukum Islam, baik berupa qawaid al-fiqhiyyah maupun berupa qawa’id al-ushuliyyah (Ushul fiqh). Hal ini terlihat dengan jelas pada berbagai himpunan keputusan Muktamar yang didonminasi oleh ungkapan halal atau haramnya sesuatu karena adanya nash (teks) kitab tertentu yang menyatakan demikian. Di sini nampak bahwa selesai tidaknya pemecahan suatu permasalahan bergantung kepada ada tidaknya jawaban eksplisit tantang masalah itu dalam kutub al-mu’tabarah .
Apabila masalah yang dibicarakan tidak ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab dimaksud, sikap tawaqquf (menunda pemecahan alias mem”peti es”kan permasalahan) harus diambil, dan permasalahan itu dinyatakan sebagai mawquf. Sikap ini ditempuh dengan pertimbangan bahwa selagi para ulama NU masih tergolong dalam tingkat muqallidin (para pentaqlid ), yang pengakuan ini merata pada semua ulama NU, belum diperbolehkan bagi mereka untuk memberikan fatwa dengan beristinbath langsung dari dalil-dalil syar’i. Hal ini sejalan dengan ungkapan penulis Bughyatul Mustarsyidin yang hanya membolehkan bagi semacam ini untuk menukil hukum dari mufti lain atau dari kitab terpercaya.
Pada saat Halaqoh Alim Ulama di Pondok Pesantern Manbaul Ma’arif Denanyar Jombang Jawa Timur tanggal 28 januari 1990 membahas metode penetapan hukum berdasarkan nas-nas yang sudah ada (Iistinbah al-ahkam).
Istilah Istinbath al-ahkam itu sendiri mengandung arti bahwa (dalam maksud ilahi) itu sendiri itu sudah ada, dan tinggal dicari sampai ketemu. Dalam pandangan kaum tradisionalis, hanya ulama’ besar masa lalu yang meletakkan dasar dari empat madzhab yang memeliki pengetahuan dan kemampuan intelektual untuk melakukan ijtihad, penafsiran independen terhadap sumber-sumber hukum (al-Qur’an dan al-Sunnah). Generasi berikutnya generasi berikutnya harus harus mengikutu jejak mereka (taqlid) kitab-kitab empat madzhab, mmenurut teorinya, tidak mengandung banyak hal baru selain penjelasan-penjelasan atas ketetapan-ketetapan hukum para pendirinya.
Sementara itu kaum pembaru dan modernis, menolak prinsip taklid dan beberapa fiqh tradisional sambil menyeru kembali kepada al-Qur’andan al-Sunnah yang harus ditafsirkan melalui penerapan yang bebas (oleh para ulama’ yang pengetahuanya memadai).
Hampir semua pemikir modernis memiliki satu suara yang intinya menentang pemberlakukan madzhab dam soal fiqh, membatalkan keabsahan tarekat sebagai wacana keberagamaan. Mereka melihat bukan sebagai produk ijtihad tetapi lebih sebagai sumber taqlid. Bahkan dalam sikap mereka yang ekstrim’ bermadzhab di anggap sebagai satu perilaku yang diharamkan. Anggapan kelompok modernis bahwa eksisitensi madzhab telah memecah belah umat ke dalam berbagai kelompok juga pelu dicermati lebih seksama. Ajakan mereka untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah agar umat tidak terpecah kedalam wadah fiqhiyah bisa cair ternyata membuahkan hasil sebaliknya. Hal itu karena ketika mereka secara profokatif menunjukkan kelemahan madzhab sebagai satu institusi alam tulisan mereka yang publisir, para pendukung madzhab kemudian menolak anggapan tersebut melalui berbagai tulisan yang mereka publisir pula.
Disisilain kelompok konstektualis lebih berhati-hati dalam dalam mrumuskan kritik mereka terhadap tradisi, tetapi usulan mereka untuk menggantika madzhab qouli dengan madzhab manhaji tidaklah sangat berbeda dengan ajakan kaum reformis kepada pembukaan kembali pintu ijtihad, namun lebih moderat.
Setelah diskusi yang cukup panjang, halaqoh Denanyar menghasilkan sebuah keputusan tentang sistem bermadzhab, sebagai berikut :
Sistem bermadzhab adalah sistem terbaik untuk memahami dan mengamalkan ajaran/hukum islam, didapat dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Madzhab adalah :
manhaj (metode) yang dipergunakan oleh seorang mujtahid dalam menggali (istinbath) ajaran/hukum (taalim/ahkam) islam dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Aqwal (ajaran/hukum) hasil istinbath yang dilakukan oleh seorang mujtahid dengan menggunakan manhaj tersebut.
Bermadzhab adalah mengikuti suatu madzhab. Bermadzhab dilakukan dengan:
Bagi orang awam, tidak ada pilhan lain kecuali bermadzhab secara qouli.
Bagi orang yang mememiliki perangkat keilmuan tetapi belum mencpai tingkat mujtahid mutlak mustaqil, bermadzhab dilakukan dengan cara manhaji.
Bermadzhab manhaji dapat dilakukan dengan istinbath jama’i mengenai hal-hal yang tidak ditemukan aqwalnya dalam madzhab empat oleh para ahlinya. Terhadap hal-hal yang diketemukan aqwalnya tetapi masih dipersilisihkan dilakukan taqrir jama’i.
Bermadzhab baik manhaji maupun qouli hanya dilakukan dalam ruang lingkup madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.)
Dengan hasil halaqoh seperti tersebut datas maka bagi NU sistem bermadzhab adalah cara yang terbaik untuk memahami dan mengamalkan hukum islam, tidak langsung dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Menurut NU madzhab pada dasarnya sebagai jembatan menuju al-Qur’an dan al-Sunnah, karena tidak kemampuanya beristinbath dari al-Qur’andan al-Sunnah (mashadirul ahkam). Bermadzhab dalam hal ini dapat berarti manhaj (metode) atau aqwal (pendapat). Bermadzhab manhaji dalam hal ini dilakukan dengan istinbath jama’i mengenai hal-hal yang tidak ditemukan aqwalnya dalam madzhab empat oleh para ahlinya. Terhadap hal-hal yang diketemukan aqwalnya dalam madzhab empat oleh para ahlinya. Terhadap hal-hal yang diketemukan aqwalnya tetapi masih dipersilisihkan maka dilakukan taqrir jama’i. Bermadzhab, baik manhaji maupun qouli hanya dilakukan dalam ruang lingkup madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali.)
Inilah beberapa proses pencarian wacana baru dalam bermadzhab di kalangan NU yang akhirnya disusulkan dan dimasukkan ke dalam main stream resmi pemikiran keagamaan NU, yaitu MUNAS alim ulama yang diadakan di Bandar Lampung tahun 1992. Salah satu keputusan yang diambil dalam MUNAS tersebut adalah menetapkan sisitem pengambilan keputusan hukum dalam kerja Bahtsul masail ad-diniyyah. Salah satu keputusan itu adalah di tetapkan istinbath jama’i dengan prosedur bermadzhab secara madzhab secara manhaj oleh para ahlinya.
Bermadzhab secara manhaj merupakan jalan moderat bagi upaya mengakomodir berbagai perubahan di tengah masyarakat yang terjadi secara terus menerus. Ketika kondisi masyarakat sebagai obyek hukummengalami perubhan maka fiqh juga dituntut melakukan melakukan perubahan agar ia tidak gagap memberikan jawaban-jawaban dari persoalan bermunculan dengan arus perubahan. Dengan hanya mengikuti metodologi imam madzhab, para para ulama sekarang mempunyai peluang yang sangat besar untuk berijtihad. Selain itu, terbuka kesempatan bagi para mujtahid mu’asir untuk semaksimal mungkin mengakomodasi aspek-aspek sosiologis yang menjadi konteks dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip maslahah ‘ammah dan maqosid al-shariah.
Prosedur Pengambilan Hukum Bahtsul masail
Dalam tradisi Islam, fiqh memiliki peran sentral sebagai instrumen hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat muslim. Mereka memerlukan perangkat hukum yang karakternya sudah tidak lagi murni tekstual normatif (al-Qur’an dan al-Sunnah), tetapi sudah terstruktur menjadi sebuah pranata hukum aplikatif. Dengan demikian dikodifikasikan untuk mengelola secara operasional keseluruhan aktifitas manusia, mulai dari persoalan ritual keagamaan sampai masalah-masalah profan, baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya.
Dalam pasal 2 statuen sendiri fiqh menjadi orientasi perkumpulan NU, sementara dimensi kalam tidak disinggung sama sekali. Agaknya dapat ditangkap bahwa disamping tantangan yang paling mendesak pada sat berdirinya NU adalah upaya menggoyah madzhab yang dianggap wilayah fiqh, laku keseharian. Akhirnya pendiri NU menaruh perhatian yang paling besar pada fiqh dibanding aspek-aspek lainya.hal ini kemudian menjadi tradisi berkesinambungan dan mewarnai citra pemikiranya hingga sekarang berdasarkan pola pemahaman madzhab Syafii.
Madzhab ini dipilih karena pola pemahamanya moderat sehingga memudahkan penganutnya menyesuaikan syariat dengan adat kebiasaan dinegri ini. Moderanisasi pemikitran Syafii cocok dengan selera dan kadar pemikiran kaum muslimin indonesia khususnya Nahdliyin. Mereka sama sekali tidak tertarik pada model pemikiran atau paham radikal dan ekstrim. Sementara itu pemikiran yang moderat dianggap sebagai alternatif terbaik untuk diikuti dan dipedomani term asuk dalam melaksanakan ibadah.
Dalam kasus-kasus tertentu,ketertarikan NU dengan imam Syafii yang dianggap sebagai mujtahid mutlak atau imam besar ternyata kurang konsekuen karena dikalahkan oleh imam-imam penerus imam Syafii sendiri (ulama’ Syafiiyah) ketika terjadi perbedaan pandangan. Keputusan ulama’ NU ke-12 berkaitan dengan Masail Diniyah dimalang menetapkan memilih pendapat imam Nawawi dari pada imam Syafii tentang jumlah pembahsuhan untuk menghilangkan najis dan hadast. Ini sungguh fenomena yang unik dalam perilaku keagamaan meskipun hanya bersifat kasuistik. Seorang Nawawi yang diyakini sendiri dalam tingkatan muqollid lebih dipilih pendapatnya dari pada Syafii yang mujtahid mutlak dan sekaligus panutan Nawawi itu sendiri. Hanya saja, tampaknya pertimbangan waktulah yang dikedepankan. Artinya, betapaun status kemujyahidan Nawawi berada di bawah Syafii, tetapi nawai adalah pengikutnya. Tentu situasi dan kondisi masa hidupnya sebagai pertimbangan munculnya suatu pendapat lebih relevan dengan zaman sekarang daripada keadaan di zaman Syafii.
Demikian juga, ketidakjelasan terdapat pada saat harus memilih pendapat yang dapat atau boleh dipergunakan untuk berfatwa diantara pendapat-pendapat yang berbeda dari ulama’ Syafiiyah, keputusan ulama’ NU ke-1 bagian Masail Diniyah disurabaya pada tahun 1926, menetapkan pendapat yang boleh atau dapat dipergunakan berfatwa dengan urutan:
Pendapat yang terdapatkata sepakat antara Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i.
Pendapat yang dipilih oleh An-Nawawi saja.
Pendapat yang dipilih oleh Ar-Rifa’i saja.
Pendapat yang disokonng oleh mayoritas ulama.
Pendapat ulama terpandai.
Pendapat ulama paling “wara .
Adahal yang menarik disini, ternyata kesepakayan Nawawi dan Rafiii memiliki kualitas lebih tinggi daripada pendapat yang disepakati banyak ulama’ yang keduanya tidak terlibat di dalamnya. Suatu ketentuan yang mesti dilacak reasoningnya sehingga bisa diterima secara logis. Standar apa yang di pakai kedua imam itu dalam menyepakati atau memilih suatu pendapat hingga mereka di unggulkan daripada ulama’ lainya yang semadzhab. Selanjutnya, standar yang paling sulit ditetapkan adalah penilaian ulama’ terpandai dan paling wara’ itu. Potensi dan unsur manakah yang menjadipusat penilaian, tampaknya belum ada kriteria dan ketetapan yang dijadikan pedoman.
Kedua imam tersebut (Nawawi dan Rafiii) yang memperoleh sertifikat dari NU sebagai orang-orang yang mempunyai otoritas dalam menjelaskan pikiran-pikiran imam madzhabnya, Syafii. Dengan ini seakan-akan NU bukan bermadzha seakan-akan NU bukan bermadzhab langsung kepada imam madzhab, melainkan kepada ulama’ madzhab, dalam hal ini Nawawi dan Rafiii. Upaya preferensi kepada kedua imam ini hanya didasarkan kepada sebuah penilaian dan penjelasan tunggal oleh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu’in,”ketahuilah bahwa yang menjadi pedoman mu’ tamad dalam pengambilan keputusan hukum daan fatwa ialah pendapat yang disepakati oleh Syaikhoni, yaitu imam Nawawi dan imam Rafiii. Kemudian jika keduanya berbeda pendapat, maka didahulukan adalah imam Nawawi, kemudian imam Rafiii, kemudian pendapat mayoritas, kemudian pendapat yang terpandai,dan akhirnya paling wara’.
Apabila dalam masalah diatas tidak ada qaul/wajah sama sekali yang dapat memberikan penyelesaian, maka dilakukan ilhaq al-masail bi nadzairiha.istilah ini dipakai untuk menggantikan istilah qiyas yang dipandang tidak patut dilakukan. Pada ilhaq yang diperlukan adalah mempersamakan persolan fiqh yang belum diketemukan jawabannya dalam kitab secara tekstual dengan persoalan yang sudah ada jawabannya berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar).
Untuk menghindari mawquf nya penetapan masalah-masalah baru yang belum sempat dibahas dan bahkan belum sempat dibayangkan oleh para penulis kitab-kitab madzhab Asy-Syafi’i, halqah denanyar menyepakati ditempuhnya sisitem bermadzhab secara manhaji, yakni dengan mengikuti manhaj (metode) istinbath yang telah ditempuh oleh imam madzhab. Pengertian imam madzhab di sini tidak hanya mencakupm Imam Asy-Syafi’i saja, melainkan juga mencakup ketiga Imam madzhab yang lain. Demikian pula dalam bermadzhab secara qawli, pendapat yang diambil tidak terbatas hanya dari lingkungan madzhab Asy-Syafi’i melainkan juga dari ketiga madzhab lain.
Mengenai ketetapan untuk mengambil manhaj dan qawl di luar madzhab Asy-Syafi’i ini, Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama memang memungkinkannya. Atau setidak-tidaknya tidak terdapat penyataan yang secara eksplisit dalam AD NU yang melarangnya. Bahkan justru dalam penyusunan rumusan AD NU yang tidak secara langsungmenyebut NU sebagai organisasi yang terikat hanya pada madzhab Asy-Syafi’i, seperti yang telah disinggung sebelumnya, nampak kearifan para ulama tokoh pendiri NU yang memungkinkan warganya mengambil pendapat dari ketiga madzhab yang lain, apabila hal itu memang dibutuhkan.
Satu-satunya kendala untuk mengambil aqwal dari madzhab lain hanyalah kode etik yang tidak membolehkan talfiq dalam satu paket amalan. Masalah talfiq dan masalah Tatabbu’ur Rukhash (mencari pendapat-pendapat yang ringan untuk diambil) memang merupakan masalah yang perlu memperoleh kejelasan yang segera dalam kaitannya dengan realisasi kesepakatan di atas.
Dalam hubungannya dengan bermadzhab secara manhajiyang dalam batas-batas tertentu sebenarnya telah dipraktekkan oleh sebagian ulama pengikut madzhab di masa-masa dahulu sebagaimana dibuktikan oleh adanya perbedaan anatara aqwal ‘ulamail madzhab dengan qawl al-imam, NU dihadapkan pada hambatan lain, yakni hambatan psikologis para ulamanya. Sebab betapaun adanya, bermadzhab secara manhaji berarti melakukan ijtihad, suatu tema yang dianggap berlawanan dengan sikap tawadlu’ yang menjadi ciri yang menonjol pada para ulama NU. Kendati sebenarnya tema ijtihad dalam ushul fiqh mengenal beberapa tingkatan, dari yang tertinggi sampai yang terendah namun hambatan psikologis ini nampak sulit untuk disingkirkan. Untuk itulah halqah Denanyar menyepakati rumusan istinbath jama’i (penggalian hukum Islam secara kolektif). Dengan tema istinbath yang pada hakekatnya merupakan kewenagan mujtahid, hambatan psikologis dari penggunaan tema ijtihad dapat diatasi. Demikian pula dengan istinbath secara jama’i (kolektif), diharapkan agar sikap tawadui’ yang mungkin dianggap berlebihan itu diharapkan dapat mencair.
Adapun dalam masalah pemilihan pendapat di antara pendapat-pendapat yang berbeda yang dalam istilah kelompok lain dikenal dengan istilah tarjih – halqah menyepakati dilakukannya pengambilan keputusan secara kolektif (taqrir jama’i ). Adanya syarat kolektif (jama’i) dalam istinbath dan taqrir ini sangat penting pula artinya dalam mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, yang sekaligus pula berguna dalam menjaga kebersamaan dalam berorganisasi.
Untuk merealisir kesepakatan-kesepakatan di atas, pendalaman terhadap Ushulul-Fiqh, Qawa’id Fiqhiyyah, Muqaranatul Madzahib (perbandingan madzhab) dan yang semacamnya, merupakan suatu keniscayaan. Bahkan dalam rangka lebih memantapkan pelaksanaan kesepakatan di atas, adanya ulama-ulama NU yang memiliki spesialisasi dalam masing-masing madzhab yang empat, seperti diusulkan oleh sementara peserta halqah , sangat layak untuk dipertimbangkan.
Dalam hubungannya dengan masalah kutub al-mu’tabarah, halqah krapyak mempertanyakan relevansinya. Hal ini berkaitan dengan kurang jelasnya kriteria yang harus digunakan untuk mengukur sejauh mana suatu kitab digolongkan ke dalam kelompok kutub mu’tabarah.
Bahkan lebih dari itu, terhadap kitab-kitab yang selama ini diterima sebagai kutub al-mu’tabarah sekali pun halqah sebelumnya di Watucongol Muntilan Magelang telah memutlakkan perlunya kontekstualisasi pemahaman. Sebab pemikiran-pemikiran yang ada dalam kitab-kitab itu sendiri lahir antara lain menurut dhurufnya sendiri. Oleh karena itu upaya pemahamnnya pun tidak terbatas pada makna-makna harfiyah, melainkan harus mampu menyentuh natijah-natijah pemikiran yang menjadi jiwanya. Terlebih lagi apabila disadari bahwa kitab-kitab yang selama ini mendominasi forum Bahtsul masail lebih banyak berasal dari karya ulama mutaakhkhirin yang kadangkala mnengandung rumusan-rumusan pemikiran yang berbeda dengan karya ulama yang lebih awal. Dalam kaitan ini sangat layak untuk direnungkan pendapat Almarhum K.H. Ali Ma’sum yang membagi kitab-kitab madzhab Asy-Syafi’i dalam lima tingkatan, sesuai dengan tingkatan kemampuan orang yang mempelajarinya. Untuk itu beliau menempatkan kitab-kitab karya Imam As-Syafi’i sendiri seperti, Al-Umm. Ar-Risalah, Ahkamul Qur’an dan Al-Musnad pada tingkatan tertinggi.
Metode Istinbath Hukum Bahtsul masail
Maksud metode istinbath hukum dalam penelitian ini adalah cara yang digunakan ulama dan intelektual NU untuk menggali dan menetapkan suatu keputusan hukum fiqh dalam lajnah Bahtsul masail yang dilaksanakan dalam Muktamar 1 pada 21-23 September 1926 di Surabaya sampai Muktamar XXX pada 21-27 Nopember 1999 di Kediri.
Dari urain sebelumnya dapat dipahami bahwa pengambilan Qoul (pendapat imam madzhab) ataupun wajah (pendapat imam madzhab), yang disebut metode Qouli, merupakan metode utama yang digunakan dalam menyeleseikan masalah keagamaan, terutama yang menyangkut hukum fiqh, dengan merujuk langsung pada teks kitab-kitab imam madzhab ataupun kitab-kitab yang disusun madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali), walaupun dalam prakteknya didominasi oleh kitab-kitab Syafiiyah.
Apabila menghadapi masalah yang tidak dapat dirujukkan langsung pada kitab-kitab sebagaimana tersebut di atas, maka ditempuhlah Ilhaq al-Masail bi an-Nadziriha yakni mengaitkan masalah baru yang belum ada ketetapan hukumnya dengan masalah yang lama yang mirip dan telah ada ketetapan hukumnya, walaupun ketetapan hukum itu hanya berdasarkan teks suatu kitab yang dianggap mu’tabar yang kemudian dikenal dengan menggunakan metode ilhaqi.
Di samping dua metode diatas masih tetap dipakai, Munas Bandar Lampung mempulerkan metode istinbath hukum lain manakala kedua metode tersebut tidak dapat digunakan, yaitu apa yang disebut metode bermadzhab secara manhaji, yakni menulusuri dan mengikuti metode istinbath hukum (manhaj) yang ditempuh oleh madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali.
Adapun metode yang digunakan dalam Bahtsul masail terdiri dari tiga macam yakni sebagai berikut:
Metode Qauli
Metode ini suatu cara istinbath hukum yang di gunakan oleh ulama’ NU dalam kerja Bahtsul masail dengan mempelajari masalah yang dihadapi kemudian mencari jawabanyan pada kitab-kitab fiqh dari madzhab empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkungan madzhab tertentu.
Walaupun dalam penerapan metode ini sudah berlangsung sejak lama, yakni sejak pertama kali dilaksanakan Bahtsul masail tahun 1926, namun hal ini baru secara ekplisit dinyatakan dalam keputusan Munas Alim Ulama’ NU di Bandar Lampung (21-25 juni 1992).
Keputusan Bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:
Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka diapakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat tersebut.
Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’iuntuk memilih salah satu qaul/ wajah.
Metode Ilhaqi
Apabila metode qauli tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari kitab mu’tabar, maka yang dilakukan adalah apa yang disebut dengan ilhaq al -masailbi nazairiha yakni menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya), atau menyamakan denganpendapat yang sudah jadi.
Sama dengan metode qauli metode ini secara operasional juga telah ditetapkan sejak lama oleh para ulama NU dalam menjawab permasalahan keagamaan yang diajukan oleh umat Islam khususnya warga nahdliyin, walaupun baru secara implisit dan tanpa nama sebagai metode ilhaqi. Namun secara resmi dan eksplisit metode ilhaqi baru terungkap dan dirumuskan dalam keputusan Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung, tahun 1992, yang menyatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah yang tidak ada qaul/wajh sama sekali maka dilakukan sengan ilhaq al -masail bi nazairiha secara jama’i oleh para ahlinya.
Sedangkan prosedur ilhaqi adalah dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya), mulhaq ‘alaih (sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya), wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dan mulhaq ‘alaih), oleh para mulhiq yang ahli.
Metode penjawaban permasalahan semacam ini kemudian disebut sebagai metode ilhaqi. Dalam prakteknya menggunakan prosedur dan persyaratan mirip qiyas. Oleh karenanya, dapat juga dinamakan qiyas versi NU. Ada perbedaan antara qiyas dan ilhaq. Yaitu kalau qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapanya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nass al-Quran dan al-Hadist sedangkan ilhaq adalah menyamakan sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan suatu teks suatu kitab (mu’tabar).
Metode Manhaji
Metode manhaji adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaanyang ditempuh dalam Bahtsul masail dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah-kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam mazhab. Sebagaimana metode qauli dan ilhaqi, sebenarnya metode ini juga sudah diterapkan oleh para ulama NU terdahulu walaupun tidak dengan istilah manhaji dan tidak pula diresmikan melalui sebuah keputusan.
Jawaban terhadap permasalahan yang dikaji dalam Bahtsul masail yang tidak mencantumkan dalil dari suatu kitab ataupun memberikan suatu argumentasi detail, setelah tidak dapat dirujukkan kepada teks suatu kitab mu’tabar maka digunakanlah metode manhaji dengan mendasarkan jawaban mula-mula pada al-Qur’an, setelah tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an lalu pada hadits dan begitu seterusnya yang akhirnya sampailah pada jawaban dari kaidah fiqhiyah.
Secara resmi metode ini baru dipopulerkan penggunaannya dalam Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa Munas Bandar Lampung adalah era kesadaran perlunya redefinisi dan reformasi arti bermadzhab. Era ini dapat dikatakan sebagai titik awal untuk bersikap lebih inklusif dalam hal pemahaman beragama, khususnya dalam Bahtsul masail menuju universalitas dan era kesadaran perlunya “pabrik” pemikiran.
Munas Bandar Lampung juga dapat dikatakan sebagai titik awal untuk mendobrak pemahaman jumud (stagnan) yang berupa ortodoksi pemikiran dengan mencukupkan pada apa yang telah di formulasikan para ulama’ terdahulu yang sudah terkodifikasi dalam kitab empat madzhab, khususnya Syafiiyah. Atau paling tidak Munas Bandar Lampung adalah era dimulainya gerakan kesadaran ulama’ dan intelektual NU, bahwa kitab-kitab madzhab empat tidaklah cukup dan perlu adanya semangat reformasi menuju pemikiran madzhab yang luwes, luas dan mampu menghadapi tantangan zaman.
Proses pengambilan hukum yang biasa dilakukan oleh ulama NU sebagaimana tercermin dalam forum Bahtsul masail dengan langkah-langkahnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, penetapan hukum yang dilakukan oleh Bahtsul masail itu adalahrespon terhadap pertanyaan-pertanyaan riil pada berbagai daerah dari semuatingkatan organisasi, baik yang diajukan oleh perseorangan atau masyarakat.
Kedua, sebelum diajukan ketingkat Bahtsul masail pusat (PBNU) pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah dibahas dalam Bahtsul masail sesuai tingkat jajarannya, tetapi tidak mendapat jawaban/solusi yang memuaskan.
Ketiga, melakukan identifikasi masalah untuk dipersiapkan jawabannya di pra-sidang Bahtsul masail .
Keempat, mencari jawabannya dalam kitab-kitab klasik hingga modern atau artikel/majalah yang ditulis oleh para ulama yang diakui kredibilitas keilmuannya. Di sinilah terjadi penilaian yang menjadi ukuran tertinggi adalah komitmen seorang penulis terhadap pola bermazhab, utamanya mazhab syafi’i, ke-wira’i-an dan kejelasan argumen yang ditampilkan dalam redaksi kitab atau teks rujukan yang dipilih. Biasanya, pemilihan dilakukan secara alami, apakah kitab itu diterima oleh kalangan pesantren yang secara kultural terkait dengan NU atau tidak? Jika diterima, kitab ini dapat dijadikan rujukan.
Kelima, setelah mendengar argumen dari para peserta LBM dengan landasan redaksional (teks) kitab yang menjadi pegangannya, pimpinan sidang membuat kesimpulan, dan ditawarkan kembali kepada peserta bahstul masail untuk ditetapkan ketentuan hukumnya secara kolektif (taqrir jama’i).
Keenam, kesimpulan ketetapan hukum seperti itulah yang dalam NU populer dengan ahkam al-fuqaha. Untuk lebih jelasnya format keputusan hukum Bahtsul masail di atas disusun secara sistematis sebagai berikut:
Setiap masalah dikemukakan deskripsi masalahnya.
Pertimbangan hukum (tidak selalu ada)
Rumusan soal (pertanyaan) yang dibahas
Jawaban (dengan kalimat yang singkat dan jelas)
Dasar pengambilan (ma’khadh), yakni kitab-kitab fiqh mazhab yang menjadi rujukan (refrensi)
Uraian teks/redaksi dalilnya.
Kitab Mu’tabaroh Bahtsul masail
Untuk menentukan kitab mu’tabar dan yang tidak mu’tabar dalam pandangan NU haruslah merujuk pada keputusan konstitusionalnya. Kriteria kutub al-mu’tabaroh yang legal konstitusional ubtuk menyelaseikan problem hukum warga NU sebenarnay dapat dikatakan terlambat. Sebab sejak dimulainya Bahtsul masail yang pertama, yakni dalam Mu’tamar 1 tahun 1926, baru pada Munas Alim Ulama tahun 1983 di Situbondo hal tersebut di permasalahkan, di bahas dan kemudian ditentukan kriteria ke-mu’tabar-an suatu kitab.
Dalam Munas tersebut dijelaskan bahwa maksud kitab mu’tabar adalah kutub al-madzahib al-arbaa’h (kitab-kitab mengacu pada madzhab empat). Walaupun tidak tidak diterangkan kitab standar kitab mu’tabar mangacu pada madzhab empat namun dapat diyakini bahwa hal itu disebabkan angaran dasar NU memang mengacu pada madzhab empat.
Definisi tersebut sebenarnya tidak jelas batas-batasanya, masih banya menimbulkan pertanyaan, misalnya apakah kriteria kutub al-madzahib al-arba’ah didasarkan pada pengakuan seseorang penulis sebagai salah satu dari penganut madzhab empat? Atau standar ke-mu’tabar-an suatu kitab dilihat dari alur berfikir, manhaj atau metodeloginya, semisal karena ada kesamaan metodelogi seorang penulis dala karyanya dengan salah satu dari madzhab empat, maka kitab tersebut di anggap mu’tabar. Kalau demikian, maka seseorang yang mempunyai metodologi tertentu yang tidak sama dengan madzhab empat, tetapi mengaku bermadzhab salah satu dari madzhab empat, kitab karyanya harus diterima dan dikatagorikan sebagai kitab mu’tabar.
Hal diatas akan menjadi lebih rumit lagi karena ternyata ada beberapa penulis yang tidak mengafilisikan dirinya dengan salah satu madzhab tertentu dari madzhab empat, tetapi kitab-kitab mereka digunakan sebagai rujukan untuk memecahkan persoalan yang amsuk pada lajnah Bahtsul masail. Tentunya akan ada kerumitan untuk mengafilisikan dengan salah satu madzhab empat posisi penulis, seperti at-Tabari, Abdurrohman al-Jaziri, Sayyid Sabiq, dan Wahbah az-Zuhaili. Apalagi dalam Munas tersebut juga terjadi perdebatan sengit tentang apakah kutub al-mu’tabarah itu berdasar pada batasan tahun atau afaliasi penulisnya terhadap salah satu madzhab. Pertanyaan akan semakin panjang bila diingat bahwa madzhab empat adalah madzhab di bidang fikh, padahal cakupan Lajnah Bahtsul masail juga meliputi bidang aqidah dan tasawuf yang kaitan madzhabnya bukanlah madzhab empat.
Dalam munas alim ulama di bandar lampung pada 21-25 Juni 1992 diadakan pembahasan lagi tentang definisi kutub al-mu’tabarah. Menurut munas ini definisi kutub al-mu’tabarah adalah kitab-kitab tentang ajaran islam yang sesuai dengan doktrin Aswaja (Ahlussunnah wal jama’ah). Namun dengan pembatasan kitab mu’tabaryang distandarisasi dari aspek kesesuainya dengan Aswaja, definisi kitab mu’tabar tetap tidak tegas tuntas. Di satu sisi tidak tertututp kemukinan adanya kitab-kitab selain madzhab empat (sepert fikh sunnah subusalam dan sebagainya) dapat dikatagorikan sebagai kitab-kitab mu’tabaroh. Disisi yang lain definisi operasional Aswaja sendiri masih polemis sehingga akan melupakan persoaalan tersendiri untuk mengklasifikasi kitab-kitab mana yang sesuai atau tidak sesuai dengan doktrin Aswaja. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang dilapangan tidak terjawab baik secara formal (tertulis) maupun informal (lisan).
Selain belum tuntasnya definisi kemu’tabaran suatu kita dalam Bahtsul masail terdapat jawaban yang merujuk dalam majalah, seperti jawaban terhadap pertanyaan tentang hukum mendengarkan suara radio dan menyimpanya (Muktamar X, 1935) yang merujuk pada majalah Hidayah al-Islamiyah. begitu juga jawaban terhadap pertanyaan tentang hukum menggambar hewan secara sempurna dengan potret (Muktanmar XIII, 1938), diambilkan dari majalah an-Nahdah al-Islamiyah. Dan jawaban terhadap pertanyaaan tentang hukum membaca al-Quran yang di-zender (di pancarkan) melalui adio yang ditempat itu juga digunakan untuk arena malahy (permainan,”hura-hura”) yang dilarang agama (Muktamar XIV, 1939), rujukanya adalah majalah al-Azhar. Begitu juga terhadap pertanyaan asuransi jiwa (Muktamar XIV, 1939), jawabanya merujuk pada majalah Nur al-Islam. Yang menjadi persoalan adalah apakah majalah-majalah tersebut disebut sebagai kutub al-mu’tabarah? Oleh karena itu, jika kutubul mu’tabarah di letakkan di majalah-majalah, maka harus ada standarisasi dapat tidaknya suatu majalah tersebut sebagai rujukan, misalnya dikarenakan penulis majalah tersebut adalah orang alim (ulama’) yang begitu wara’ dan pandai sehingga bisa dipakai rujukan, dan dikarenakan majalah tersebut sudah di putuskan oleh lembaga Bahtsul masail sehingga bisa dipakai rujukan.
Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Pertama: Sahal Mahfud pengantar dalam buku Ahkam al-Fuquha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Mu’tamar NU (1926-1999), dan (1999-2004) dalam buku ini menjelaskan tentang perjalanan Bahtsul masail mulai dari berdirinya sampai sekarang. Dalam buku tersebut juga memuat pembahasan tentang hasil keputusan, Munas, Mu’tamar, NU mulai tahun (1926-1999 dan 1999-2004).
Kedua: Desertasi yang ditulis oleh Ahmad Zahro dengan judul “Lajnah Bahtsul masail Nahdlatual Ulama, 1926-1999; telaah kritis terhadap keputusan hukum fikih”. Secara subtansif, kajian dalam buku ini mengarah pada studi tentang lajnah Bahtsul masail, yang merupakan satu forum kajian yang membahas persoalan keagamaan Islam di lingkungan organisasi yang berafiliasi ada empat madzhab. Lebih spesifik lagi, buku ini berisi analisis kritis terhadap kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam forum Bahtsul masail atau al-kutub al-mu’tabarah, metode istinbath hukum, serta keputusan hukum fikih yang dihasilkannya, dalam Bahtsul masail.
Ketiga: Buku yang ditulis Ahmad Muhtadi Anshor dalam bukunya yang berjudul “Bahtsul al-Masail Nahdlatul Ulama; Melacak dinamika pemikiran Madzhab Kaum Tradisional.” Dalam buku menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan Bahtsul masail Nahdhatul Ulama. Dalam buku tersebut juga dibahas pengambilan keputusan hukum bahtsul masail dan prosedur penyeleseian hukum dalam bahtsul masail.
Keempat: penelitian yang dilakukan oleh M. Daroini STAIN Tulungagung yang berjudul Metode Ijtihad Bahtsul masail Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadh Ringin Agung Pare Kediri. Penelitian ini secara subtantif membahas tentang metode-metode ijtihad yang digunakan dalam Bahtsul masail Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadh Ringin Agung Pare Kediri.
Kelima: penelitian yang dilakukan oleh Izul Anwar, UIN Sunan Kalijaga. yang berjudul “Studi Perbandingan Metode Penetapan Hukum dalam Bahtsul masail Nahdlatul Ulama (NU) dan Bahtsul masail Rifaiyah”. Penelitian ini membahas tentang metode penetapan hokum dalam dua Bahtsul masail yakni bahtsul masail yang digunakan oleh NU dan Rifaiyah.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode secara terminoligi adalah “istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian, cara yang paling tepat dan tepat dalam melakukan sesuatu”. Di dalam penelitian laporan ini, metode merupakan bagian yang cukup penting untuk memperoleh suatu kajian yang akan di teliti. Dengan demikian maksud dari metode penelitian itu sendiri dalam pembahasan ini adalah teknik, cara kerja, atau jalan untuk mencapai tujuan, dengan menggunakan metode ini, peneliti dapat memahami dan memecahkan masalah secara tepat dan akurat.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan
Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif berusaha mengungkap gejala secara menyeluruh sesuai dengan konteks melalui pengumpulan data dari latar ilmiah dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. Peneliti merupakan alat pengumpul data utama yang bisa memahami kenyataan-kenyataan di lapangan. Dengan demikian metode ini akan lebih memperluas penelitian dalam menjalin hubungan dan mengenal informasi lebih baik, dan mempelajari semua yang belum diketahui sama sekali, sehingga semua itu memperlancar penelitian di dalam mengumpulkan data serta menyajikan data berbentuk deskriptif.
Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian lapangan yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data dengan cara langsung melalui pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan masalah yang ada di lapangan. Ditinjau dari segi sifat-sifat data maka termasuk dalam “penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Jika ditinjau dari sudut kemampuan atau kemungkinan penelitian dapat memberiakan informasi atau penjelasan, maka penelitian ini termasuk penelitian termasuk penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskriptifkan mengenai unit sosial tertentu yang meliputi individu, kelompok, lembaga dan masyarakat". Dalam penelitian ini peneliti datang langsung ke lokasi penelitian guna menggali informasi yang berkaitan dengan fokus penelitian yang sedang diteliti yaitu mengenai Praktek Istinbath Hukum Bahtsul Masail PP Al falah Trenceng Sumbergempol Tulungagung .Untuk itu, kehadiran peneliti sangat diperlukan untuk mendapatkan data yang komprehensif dan utuh.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di PP Al falah Trenceng (PP AL FALAH TRENCENG ) Desa Trnceng Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung. tepatnya di pondok pesantren pusat (pondok pesantren salaf). PP AL FALAH TRENCENG merupakan salah satu Pondok pesantren yang santrinya cukup banyak dari beberapa pondok pesantren yang ada di Kabupaten Tulungagung.
Dalam penelitian ini peneliti memlih lokasi di PP AL FALAH TRENCENG Sumbergempol Tulungagung karena disana terdapat dua bahtsul masail terdapat 2 bahtsul masail yakni bahtsul masail Internal (sugro) dan eksternal (kubro).
Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian kualitatif peneliti sendiri atau dengan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Sehingga dalam penelitian ini penulis menempatkan diri sebagai instrumen sekaligus pengumpul data. Selama pengumpulan data dari subyek penelitian di lapangan penulis menempatkan diri sebagai instrumen sekaligus pengumpul data untuk mendukung pengumpulan dari sumber yang ada di lapangan, Kehadiran peneliti merupakan tolok ukur keberhasilan atau pemahaman terhadap beberapa kasus. Peneliti bertindak sebagai instrumen utama dalam pengumpulan data atau instrumen kunci.
Dalam penelitian ini peneliti datang langsung ke lokasi penelitian guna menggali informasi yang berkaitan dengan bahtsul masail PP Al falah Trenceng Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung. Peneliti akan datang ke lokasi untuk melakukan penelitian di lapangan. Untuk itu, kehadiran peneliti sangat diperlukan untuk mendapatkan data yang komprehensif dan utuh.
Data dan Sumber Data
Data
Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta maupun angka. Data dalam penelitian ini adalah semua data/informasi yang diperoleh dari para informan yang dianggap paling mengetahui secara rinci dan jelas mengenai fokus penelitian yang sedang di teliti yaitu mengenai Praktek Istinbath Hukum Bahtsul Masail PP Al falah Trenceng Sumbergempol Tulungagung.
Sumber Data
Sumber data adalah tempat, orang/benda dimana peneliti dapat mengamati, bertanya atau membaca tentang hal-hal yang berkaitan dengan variabel yang diteliti. Dalam penelitian ini peneliti akan mengeksplorasi data kualitatif yang terkait dengan dari mana data dapat diperoleh, adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah informan yang bergelut dalam bidang bahtsul masail, informan pertama adalah pengasuh pondok pesantren setempat dalam hal ini peneliti hanya mengajukan surat penelitian kepada pengasuh pondok, setelah di setujui peneliti diarahkan oleh pengasuh untuk mememui pembina bahtsul masail, kedua pengurus bathsul masail, dan yang terakhir adalah santri (musawirin bathsul masail).
Dalam penelian ini terdapat dua sumber data, yang pertama sumber data primer dan sumber data sekunder:
Sumber data Primer
Sumber data primer adalah sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Dalam penelitian ini sumber data primernya yakni sumber data yang diperoleh dan dikumpulkan langsung dari informan yang terdiri dari: pembina bathsul masail beserta pengurusnya dan santri (musawirin bathsul masail).
Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yaitu “data yang diperlukan dari sumber data tidak langsung yang biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi”.
Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumentasi, laporan-laporan dari arsip-arsip kegiatan. Oleh karena itu peneliti dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, yang berupa pendeskripsian objek yang dituju yaitu bahtsul masail yang ada di PP Al falah Trenceng kecamatan Sumbergempol Tulungagung. Maka peneliti dalam penelitian ini berusaha mengumpulkan data berupa kata-kata informan yang diubah menjadi bahasa tulis.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun langkah dalam pengumpulan data peniliti, dalam penelitian ini adalah dengan cara mendeskripsikan suatu objek tertentu, yang bertujuan untuk memperoleh data yang ada di lapangan dan menjawab fokus penelitian yang sedang diteliti. Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut:
Observasi
Observasi adalah melakukan pengamatan langsung ke obyek penelitian untuk melihat dari dekat obyek penelitian. Apabila ada sesuatu yang sangat penting dicatat oleh penulis pada saat pengamatan berlangsung. Penggunaan metode ini mengharuskan penulis untuk hadir langsung di lokasi penelitian. Penulis hadir di lokasi penelitian berusaha untuk melihat atau mengamati proses sidang bahtsul masail yang sedang berlangsung di PP Al falah Trenceng Sumbergempol Tulungagung.
Wawancara
Menurut Ahmad Tanzeh, “wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan interview pada satu atau beberapa orang yang bersangkutan’’.
Metode wawancara atau interview adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka dengan pihak yang bersangkutan.
Di setiap penggunaan wawancara selalu ada pewawancara, informen, materi wawancara dan pedoman wawancara. Pewawancara adalah orang yang mengunakan metode wawancara sekaligus dia bertindak sebagai pemimpin dalam proses wawancara. Informen adalah orang yang diwawancarai, dimintai informasi oleh pewawancara, ia diperkirakan menguasai data, informasi ataupun fakta dari suatu obyek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi informen antara lain adalah pembina bathsul masail, pengurus bahtsul masail dan santri (musawirin bathsul masail) PP Al Falah Trenceng Tulungagung. Materi wawancara adalah persoalan yang ditanyakan kepada informen berkisar antara masalah atau tujuan penelitian. Pedoman wawancara adalah instrumen yang digunakan untuk memandu wawancara.
Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditunjukan kepada subjek penelitian. Dokumen yang diteliti dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi. Dengan tehnik dokumentasi ini, peneliti dapat memperoleh informasi bukan dari orang sebagai narasumber, tetapi mereka memperoleh informasi dari macam-macam sumber tertulis atau dari dokumen yang ada pada informan dalam bentuk peninggalan budaya, karya seni dan karya pikir.
Dokumen yang ada secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dokumen resmi seperti, surat keputusan, surat instruksi dan dokumen tidak resmi misalnya surat nota, dan surat pribadi yang dapat memberikan informasi pendukung terhadap suatu peristiwa.
Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal–hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, agenda atau lain sebagainya.
Dalam penelitian ini Peneliti menggunakan teknik dokumentasi untuk memperoleh data berupa arsip, dan catatan Bahtsul masail PP Al Falah Trenceng Sumbergempol Tulungagung.
Teknik Analisis Data
Analisa data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data. Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai-nilai sosial, akademis dan ilmiah. analisis data dan penelitian kualitatif bersifat interaktif (berkelanjutan) dan dikembangkan sepanjang progam. Analisis data di laksanakan penempatan masalah, pengumpulan data dan setelah data dikumpulkan.
Pada tahap ini data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakaiuntuk menjawab pertanyaan atau persolan yang diajukan dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan untuk mengelola data kualitatif adalah dengan menggunakan metode induktif.
Metode induktif adalah berangkat dari fakta yang khusus, peristiwa yang konkret, kemudian dari fakta atau peristiwa yang konkret itu ditarik generalisasi yang mempunyai sifat umum.
Data yang diperoleh dari lapangan sudah terkumpul kemudian data dianalisa sesuai dengan tahap-tahap analisa data untuk memperoleh kesimpulan. Tahap-tahap analisa data tersebut adalah:
Reduksi data
Yaitu merupakan proses pelilihan pemusatan perhatian dan penyederhanaan, pengabstrakan transformasi data kasar, yang muncul dan catatan-catatan lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerusselama penelitian berlangsung. dengan kata lain reduksi data merupakan suatu bentuk analitis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perludan mengoganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Penyajian data
Yaitu menyajikan sekumpulan informsi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan dengan kata lain, penyajian data merupakan proses penyusunan informasi secara sistematis dalam rangka memperoleh kesimpulan kesimpulan sebagai temuan peneliti.
Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan selama proses penelitian berlangsung yang mengacu pada fokus penelitian dengan elemen-elemen yang terkait dengannya.
Pengecekan Keabsahan Data
Dalam sebuah penelitian tentunya ada sumber data yang dijadikan sebagai dasar penelitian. Dalam menguji keabsahan data dari hasil penelitian karya ilmiah ini perlu adanya data-data yang menjadi acuan dalam penulisan karya ilmiyah. Oleh karena itu, dalam karya ilmiyah ini peneliti dalam pengecekan keabsahan data menggunakan teknik trianggulasi. Menurut Moleong trianggulasi adalah teknik pengecekan validitas data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang di peroleh untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data. Hal ini dilakukan agar data yang di peroleh tidak hanya dari satu cara pandang sehingga kebenaran data lebih bisa diterima. Dalam trianggulasi ini peneliti melakukan pembanding data dengan cara meminta pendapat antara musyawirn bahtsul masail dan pengurus bahtsul masail.
Tahap–Tahap Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini peneliti memakai 4 tahap, yaitu sebagai berikut:
Tahap persiapan
Dalam tahap ini penulis memulai buku-buku atau teori-teori yang berkaitan dengan Metode Istinbath Hukum bahtsul masail. Pada tahap ini dilaksanakan pula proses penyusunan proposal penelitian kemudian diseminarkan oleh Dosen Pembimbing.
Tahap Pelaksanaan
Tahap ini dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan fokus penelitian dari lokasi penelitian. Dalam proses pengumpulan data ini penulis menggunakan metode wawancara dan dokumentasi.
Tahap Analisa data
Pada tahap ini penulis menyusun semua data yang telah terkumpul secara sistematis dan terinci sehingga data tersebut mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain secara jelas.
Tahap Pelaporan
Tahap ini merupakan tahapan terakhir dari tahapan penelitian yang penulis lakukan yang memuat laporan tertulis dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, laporan ini akan ditulis dalam bentuk penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Paparan Data
Diskripsi Latar Belakang Obyek Penelitian
Sejarah Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung
Pesantren al-Falah Trenceng didirikan oleh KH. M. Arsyad Bushoiri pada tahun 1987. Berawal dari pengajian rutin yang diikuti oleh beberapa santri lambat laun santri datang kian bertambah hingga harus membangun beberapa asrama dan madrasah. Pesantren al-Falah Trenceng ini merupakan pesantren fokus memperkenalkan kepada santrinya tentang berbagai kitab-kitab klasik atau salafiyah dengan bercita-cita dapat mencetak manusia-manusia muslim yang ilmiah, amaliyah, berakhlakul karimah, serta memiliki akidah yang kuat.
Profil Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng
1. Profil Lembaga
Nama Lembaga : Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng
Alamat Jalan : Ada pasar Bendil Wungu pertigaan ke timur kurang lebih 1 KM
Desa : Trenceng
Kecamatan : Sumbergempol
Kabupaten : Tulungagung
Nama Yayasan : Yayasan Pondok
Alamat Yayasan : Ds Kec. Kab. Tulungagung
Tahun didirikan : 1987
Tahun beroperasi : 1987
Status bangunan : Milik Yayasan
2. Praktek Istinbath Hukum Bahtsul masail Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung
Bahtsul masail PP Al Falah Trenceng Tulungagung
Bahtsul masail di selenggarakan pada setiap daerah-daerah, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi sampai kepulaun, seperti LBM (Lajnah Bahtsul masail) Jombang, Mojokerto, Kediri, Surabaya yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama’ mulai dari tingkat Ranting, MWC, Cabang, Wilayah maupun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’.
Di pondok pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung mempunyai agenda khusus dalam kegiatan Bahtsul masail antar pondok pesantren, seperti FMPP (Forum Musyawarah Pondok Pesantren), Ini adalah merupakan forum-forum pertemuan yang mewadahi para pakar ilmu agama untuk menyumbangkan keilmuannya demi kemaslahatan umat.
Di pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung salah satu media paling efektif dan dinamis dalam sisitem belajar adalah Bahtsul masail, dari segi historis maupun operasionalitas, Bahtsul masail di pondok pesantren merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan berwawasan luas. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masail) yang digarap selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun yang muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan berwawasan luas sebab di dalam Bahtsul masail tidak ada dominasi madzhab dan selalu sepakat dalam khilaf.
Peneliti sendiri telah melakukan risert di pondok pesantren Al-Falah Trenceng yang berkedudukan di kecamatan Sumbergempol kabupaten Tulungagung disana peneliti melakukan wawancara, observasi dan dokumentasi. Menurut hasil wawancara kepada sejumlah pembina dan para Musawirin Bahtsul masail menyatakan sebagai berikut:
Menurut Ustadz Musta’in forum Bahtsul masail adalah forum yang sangat efektif,dinamis dan berwawasan luas, dalam membahas suatu permasalahan, terutama masalah-masalah ubudiyyah, waqiiyah, dan mauduiyyah. Di PP Al Falah Trenceng Tulungagung terdapat dua Bahtsul masail yang pertama di ruang lingkup (internal) pondok dan yang kedua di luar (eksternal) pondok.
Hal ini kang Bukhori menambahkan penjelasan yang di ungkapkan diatas yang menyatakan sebagai berikut:
Bahtsul masail di pondok sini berjumlah dua Bahtsul masail, yang satu di wilayah pondok dan yang satunya lagi di luar pondok. Yang di wilayah pondok Bahtsul masail yang terdiri dari para santri PP Al Falah Trenceng dan pengurus pondok.Yang kedua di wilayah luar pondok seperti FMPP (Forum Musyawarah Pondok Pesantren), se-Jawa-Madura. Ini adalah merupakan forum-forum pertemuan yang mewadahi para santri untuk berdiskusi dalam memutuskan hukum atau dikenal dengan forum Bahtsul masail, yang terdiri dari santri-santri dari berbagai kalangan pondok pesantren yang ada di sekitar Jawa dan Madura.
Waktu Penjaringan Soal Dalam Bahtsul masail
Dalam pelasanakan Bahtsul masail Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung terdapat beberapa hal yang perlu di persiapkan dalam Bahtsul masail yakni penjaringan soal sebagaimana hasil wawancara dengan salah satu pengurus PP Al Falah Trenceng Tulungagung yang menyatakan bahwa:
Sebelum pelaksanaan Bahtsul masail dimulai terdapat terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yang pertama adalah penjaringan soal/permasalahan, yang mana soal-soal harus diseleksi dulu sebelum di bahas ke forum tersebut.
Kemudian Peneliti mengajukan pertanyaan lanjutan mengenai penjaringan soal dan menyeleksi soal: Bagaimana cara bapak memulai penjaringan soal dan menyeleksi soal yang ada ?
Ustadz Mustain menjawab : Untuk Bahtsul masail yang internal penjaringannya lewat pertanyaan-pertanyaan para santri atau ustadz pondok, pertanyaan tidak langsung di unggah ke forum Bahtsul masail, tetapi harus diseleksi dahulu mana soal yang pantas diunggah dan mana yang tidak pantas, untuk soal yang pantas diunggah biasanya soal yang bersifat kekini-kinian (waqiyah). dan untuk Bahtsul masail yang ke dua (eksternal) penjaringanya lewat internet (email), biasanya dari pihak sini (pondok) meminta pertanyaan keluar pondok-pondok yang ada diwilayah sekitar Jawa dan Madura, untuk sebagai pembahasan dalam Bahtsul masail. Dalam penjarianganya sama dengan yang Bahtsul masail yang internal, yakni pertanyaan yang sesuai dengan kondisi sekarang (waqiiyah).
Dalam hal ini muncul pertanyaan baru dari peniliti kapan waktu mulainya penjaringan soal sebelum Bahtsul masail di mulai? Sebagaimana hasil wawancara pembina Bahtsul masail menyatakan sebagai berikut:
Dalam penjaringan soal/pertanyaan didalam Bahtsul masail di pondok sini terdapat beberapa waktu yang cukup untuk penjaringan soal, untuk soal yang berada di ruang lingkup pondok (intern) soal biasanya di sebarkan selama 2 minggu dan untuk penjaringan soal yang diluar pondok atau (ekstern) disebarkan selama 1 bulan.
Komponen-Komponen yang Harus Dipersiapkan Dalam Bahtsul masail
Dalam pelaksanakan Batsul masail ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum pembahasan tersebut dimulai seperti moderator, perumus, Mushohih, dan para Musawirin. Sebagaimana hasil wawancara dengan pengurus menyebutkan sebagai berikut:
Di pondok sini terdapat beberapa hal yang wajib dipenuhi dalam pelaksanakan Bahtsul masail yang pertama adalah Moderator, kedua Perumus, ketiga adalah Mushohih dan yang keempat adalah peserta Musawirin.
Dalam wawancara ada sebagian pengurus yang menmbahkan bahwasanya moderator harus pintar dan responsif dalam memimpin Bahtsul masail karena di ibaratkan seperti seorang pilot saat mengendarai pesawat saat terbang. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang menyebutkan sebagai berikut:
Moderator harus seseorang yang mampu memimpin jalannya Bahtsul masail. Ia bagaikan sorang pilot yang mengepalai ‘penerbangan’ dalam Bahtsul masail, oleh sebab itu dibutuhkan seorang pilot yang pintar dan piawai, sehingga mampu mengantarkan para penumpang pesawat sampai ke bandara dengan tepat dan selamat. Dan jika seorang moderator mampu mengarahkan jalannya bahtsul masail dengan baik maka bisa dipastikan akan lancar dan lebih menarik. Diharapkan nantinya moderator bisa menampung luruh pendapat yang masuk dari seluruh peserta Musyawirin dan mampu mengiring peserta Musyawirin melewati season I’tirodl (sanggahan) dan I’tidlodl (dukungan) dengan baik dan sportif kepada kesimpulan yang tepat.
Dalam paparan diatas moderator sebagai bagian penting dalam musyawaroh dalam sisitem Bahtsul masail karena tanpa moderator Bahtsul masail tidak akan berjalan dengan maksimal. dalam musyawaroh sisitem Bahtsul masail bukan hanya moderator saja yang penting tapi muyawirin (peserta musyawaroh) yang jauh penting lagi, karena tanpa Musyawirin, tidak ada yang membahas dan menggali hukum. jadi moderator di ibaratkan sebagai pemimpin musyawaroh (Bahtsul masail) dan Musyawirin (peserta musyawaroh) diibaratkan orang yang dipimpin dalam musyawaroh tersebut.
Untuk menjadi Musyawirin seseorang harus pandai membaca dan memahami kitab-kitab yang akan di kaji dalam forum tersebut. Dan agar Musyawirin bisa berkembang dalam berpendapat maupun berpikir, Menurut al-ustadz Mudaimullah, yang pertama kali harus dilakukan oleh para musyawirin yakni 1) Memunyai cita-cita luhur, (Himmah ‘Aliyah). 2) Bermental Baja, 3) Memiliki Target Operasional Khusus, 4) Semangat bersaing, 5) Punya Selera Berbeda, 6) Tak Kenal Kompromi
Penetapan Hukum Dalam Sidang Bahtsul masail
Dalam penetapan hukum Bahsul Masail tidak asal-asalan dan tidak mudah apa yang kita bayangkan, tapi penuh dengan pertimbangan dan kematangan sikap serta pikiran dalam memutuskan akan sebuah masalah, oleh karena itu didatangkanlah para pakar-pakar ilmu agama, untuk ikut berkecimpung dalam menuntaskan sebuah wacana yang akan dibahas. Bahkan apabila masalah yang akan dibahas bersinggungan dengan ilmu umum yang tidak mungkin diputuskan sepihak dari para peserta Bahtsul masail maka mereka akan mendatangkan orang-orang yang berkompeten dalam bidang tersebut, seperti ketika dalam masalah per-bank-an, maka mereka akan mendatangkan seseorang yang mampu menerangkan permasalahan tentang sistem per-bank-an yang hanya diketahui oleh orang-orang dalam saja, sehingga nantinya akan diputuskan sebuah hukum yang objektif serta dapat dipertanggung jawabkan. Sebagaimana hasil wawancara dengan salah satu pengurus pondok yang menyebutkan sebagai berikut:
Dalam proses Penetapan hukum Bahtsul masail di pondok pesantren yaitu: 1) Bahtsul masail dibuka dan ditutup oleh panitia. 2) Bahtsul masail dipimpin seorang moderator dalam pengawasan tim perumus dan mushahih. 3) Mendatangkan berbagai narasumber dari berbagai ahli, sesuai materi bahasan. Bila perlu misalnya untuk membahas autopsy mayat, harus mendatangkan dokter ahli bedah. karena tanpa mendatangkan Dokter/Orang yang berkecimpung di dalamya, kita tidak akan pernah tahu permasalahanya yang sebenarnya.
Sementara itu dalam penetapkan hukum sidang bahtsul masail PP Al Falah Trenceng Tulungagung ada beberapa tahapan ketika sidang bahtsul masail dimulai, sesuai dengan hasil wawancara yang menyebutkan sebagai berikut:
Untuk Bahtsul masail yang ada di pondok sini terdapat beberapa tatacara Sidang Bahtsul masail 1. Pembukaan & Mukaddimah 2. Tashowwur Masalah 3. Penyampaian Jawaban (I’tidlodl) 4. Kategorisasi Jawaban 5. Perdebatan Argumentatif (I’tirodl) 6. Pencerahan Refrensi dan/atau perumusan jawaban 7. Tabyyun 8. Perumusan Jawaban 9. Pengesahan
3. Prosedur Istinmbath Hukum Bahtsul masa’il
a. Cara Mencari ‘ibarah dalam Kitab Fiqh
Di dalam pondok pesantren santri tidak lepas dari yang namanya kitab kuning (kitab-kitab klasiq karya ulama’ terdahulu), selain itu di pondok pesantren juga terdapat fiqh baru (fiqh karya ulama’ sekarang) seperti Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, karya Husain Al-Awaysyah. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arbaah, karya Abdurrohman al-Jaziri Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, karya Wahbah az-Zuhaili. Dengan adanya kitab fiqh baru tersebut jawaban yang semula tidak ditemukan di dalam kitab fiqh klasiq bisa dipecahkan dengan menggunakan kitab tersebut. Sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut santri-santri menghadapi persoalan-persoalan yang waqiiyah (kekini-kinian) di masyarakat, untuk menjawab persoalan tersebut santri harus pintar memilih pendapat (Qoul) mana yang unggul dan pendapat mana yang lemah dari sekian perbedaan pendapat para ulama’. Dan untuk bisa mengetahui pendapat yang mana lebih unggul dan mana yang lemah santri harus bisa membaca kitab, terutama kitab yang berbahasa arab seperti kitab kuning, untuk memahami kitab kuning itu tidak mudah seperti apa yang kita bayangkan, santri harus mengetahui ilmu alat baik itu ilmu Nahwu, Shorof, dan Balaghoh. Karena tanpa ilmu tersebut santri akan sulit memahami kitab kuning. sesuai dengan hasil wawancara dengan pengurus yang menyatakan sebagai berikut:
Dalam mencari ‘ibarah santri (peserta Musawirin) harus bisa memahami beberapa ilmu yang cukup penting yaitu seperti bahasa arab, ilmu nahwu, shorof, dan balagoh, tanpa ilmu ini santri akan kesulitan untuk memahami maksud dari kitab-kitab yang ada di pondok pesantren (kitab kuning).
Dan bagi santri yang sudah bisa membaca dan memhami kitab kuning, santri bisa untuk mengikuti forum Bahtsul masail. Untuk mengasah ketajaman berfikir dan melatih kecerdasan emosional, dengan cara berkonsentrasi dalam suatu permasalahan yang dibahas dalam forum tersebut. Untuk mencari jawaban yang ada dalam suatu permasalahan tersebut santri harus pandai mencari ‘ibarah di dalam suatu kitab, untuk mencari ‘ibarah dalam forum Bahtsul masail ada tatacaranya sendiri, sesuai dengan hasil wawancara dengan pengurus yang menyatakan sebagai berikut:
Untuk mencari ‘ibarah Pertama kita harus pandai menggambarkan suatu permasalahan dengan jelas dan spesifik. Kedua kita harus bisa menentukan titik fokus permasalahan dengan benar, dengan cara menentukan pada suatu bab sesuai dengan titik tekan permasalahan yang akan dibahas. Ketiga kita harus pandai membandingkan ‘ibarah dari berbagai kitab dalam bab yang sama, dan meneliti apakah ada penambahan pen-tafsil-an atau ada khilafiyyah-khilafiyyah yang lebih komplit. Keempat kita harus menjawab pertanyaan sesuai dengan ‘ibarah yang kita temukan, kalau tafsil ya di-tafsil, kalau khilaf ya dijawab khilaf. kelima kita harus meneliti kelemahan jawaban dan ‘ibarah yang kita punyai, kemudian mempersiapkan sanggahan-sanggahan yang bisa memperkuat jawaban. kita istilahkan seperti bermain kartu poker ada kartu untuk menyerang dan ada kartu untuk bertahan. ada kartu yang kecil dan ada kartu yang besar, kurang lebih seperti itu.
Tatacara Pengambilan Hukum Dalam Bahtsul masail
Dalam prosedur pengambilan Hukum keputusan Bahtsul masail PP Al Falah Trenceng Tulungagung dibuat dalam kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qawli. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang menyatakan senagai berikut:
Untuk Prosedur pengambilan hukum Bahtsul masail ketika dalam kasus jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutubul madzahib al-arba'ah dan disana terdapat hanya satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut. dan apabila dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan disana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jama'iy untuk memilih salah satu pendapat.
Adapun prosedur pemilihan Qoul/wajah ketika dalam satu masalah dijumpai beberapa Qoul/wajah dilakukan dengan memilih satu pendapat. hal ini didukung dengan hasil wawancara yang menyebutkan:
Dalam Pemilihan Qoul/wajah ketika dalam satu masalah tidak dijumpai beberapa Qoul, itu ada tatacaranya sendiri: 1) Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan/atau yang lebih kuat. 2) Ketika terjadi perbedaan pendapat sedapat mungkin diselesaikan dengan cara memilih:
Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi'i)
Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi.
Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi'i.
Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama’.
Pendapat ulama’ yang terpandai.
Pendapat ulama’ yang paling wara’.
Dalam penelitian ini peneliti muncul pertanyaan baru kenapa pendapat Imam Nawawi dan Imam Rafii lebih diunggulkan dari pada pendapat imam Madzhab (Syafii), hal ini didukung dengan hasil wawancara yang menyatakan sebagai berikut:
Gini mas..... Kenapa Imam Nawawi dan Imam Rafii pendapatnya lebih di unggulkan dari pada yang lain, karena pendapat mereka lebih berhati-hati dalam mengambil/menggali suatu hukum dan Pendapat Imam Nawawi sesuai dengan adat masyarakat di Indonesia, dan beliau pun termasuk ulama’ yang waro’. ini untuk jawaban yang pertama. untuk jawaban yang kedua, kenapa tidak memakai Qoul Imam Syafii dalam kitab Al-Umm tapi memakai pendapat muridnya dan kitabnya, karena di dalam kitab tersebut terdapat beberapa Qoul imam Syafii yakni Qoul Qodim dan Qoul Jadid, untuk yang Qoul Qodim Imam Syafii masih berada di Negara Mesir sehingga beliau berijtihad sesuai dengan adat masyarakat yang ada, setelah dari Mesir beliau pindah ke Negara Bagdad, di Negara ini Imam Syafii mencabut Qoul Qodimnya dan berpindah ke Qoul Jadid.
Dan apabila dilakukan taqrir jama’i tidak ada qaul/wajah sama sekali yang dapat memberikan penyelesaian, maka dilakukan Ilhaq al-masail bi nadzairiha. istilah ini dipakai untuk menggantikan istilah qiyas yang dipandang tidak patut dilakukan. Pada Ilhaq yang diperlukan adalah mempersamakan persolan fiqh yang belum diketemukan jawabannya dalam kitab secara tekstual dengan persoalan yang sudah ada jawabannya berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar). hal ini didukung dengan hasil wawancara yang menyatakan sebagai berikut:
Apabila dilakukan taqrir jama’i tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur Ilhaqul masail bi nazhairiha secara jama'iy oleh para cendikiawan muslim (peserta Bahtsul masail). Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaq bih dan wajah Ilhaq oleh mulhiq yang ahli.
Kemudian dalam penelitian ini muncul pertanyaan baru tentang keputusan MUNAS alim ulama yang diadakan di Bandar Lampung tahun 1992. Salah satu keputusan yang diambil dalam MUNAS tersebut adalah menetapkan sistem pengambilan keputusan hukum dalam kerja Bahtsul masail. Salah satu keputusan itu adalah di tetapkan istinbath jama’i dengan prosedur bermadzhab secara madzhab secara manhaj oleh para ahlinya. sebagaimana hasil wawancara yang menyatakan sebagai berikut:
Kita tidak berani mengambil keputusan Bahtsul masail di MUNAS Bandar Lampung dalam pengambilan/penggalian hukum menggunakan metode manhaji yang sisemnya menggunakan Istinbath jamai, karena itu sangat sulit bagi kita meskipun itu di ranah madzhab empat.
hal ini senada apa yang dinyatakan pengurus pondok:
Meskipun dalam keputusan MUNAS Bandar Lampung menyatakan seperti itu, kita tetap tidak berani karena itu sangat sulit bagi kita, kalau sudah menggunakan Ilhaq, dan dalam Ilhaq tidak ditemukan ya di mauqufkan.
Metode-Metode Penggalian Hukum Bahtsul masail
Metode Qauli
Metode ini suatu cara istinbath hukum yang di gunakan oleh ulama’ NU dalam kerja Bahtsul masail dengan mempelajari masalah yang dihadapi kemudian mencari jawabanyan pada kitab-kitab fiqh dari madzhab empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkungan madzhab tertentu. Hal ini senada apa yang di ungkapkan pengurus Bahtsul masail yang menyatakan sebagai berikut:
Metode Qouli adalah metode dalam penggalian hukumnya berdasarkan suatu teks (‘Ibarah), baik itu madzhab Syafii, Hanafi Maliki dan Hanbali, tapi kebayakan menggunakan kitab Syafiiyah.
Metode Ilhaqi
Apabila metode qauli tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari kitab mu’tabar, maka yang dilakukan adalah apa yang disebut dengan Ilhaq al -masailbi nazairiha yakni menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya), atau menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi.
Metode penjawaban permasalahan semacam ini kemudian disebut sebagai metode Ilhaqi. Dalam prakteknya menggunakan prosedur dan persyaratan mirip qiyas. Oleh karenanya, dapat juga dinamakan qiyas versi NU. Hal ini didukung dengan apa yang di ungkapkan Musyawirin yang menyatakan sebagai berikut:
Apabila dalam suatu Ibarah tidak ada Qoul wajah sama sekali maka dilakukan prosedur Ilhaq. perbedaanya antara qiyas dan Ilhaq. yakni kalau qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapanya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nass al-Quran dan al-Sunnah sedangkan Ilhaq adalah menyamakan sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan suatu teks suatu kitab (mu’tabar).
Adapun ketika dilakukan Ilhaq tidak bisa sama sekali maka perkara tersebut di mauqufkan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang menyatakan sebagai berikut:
Apabila dalam kasus Ilhaq tidak bisa ditemukan jawaban sama sekali maka permasalahan tersebut di maqufkan, Meskipun dalam MUNAS Bandar Lampung memutuskan menggunakan metode Manhaji (Istinbath Jama’i) yang merujuk pada al-Quran, al-Hadis.
Di Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung dalam praktek istinbath Hukum Bahtsul masail menggunakan dua metode yakni metode Qouli dan metode Ilhaqi adapun untuk metode Manhaji yang diputuskan didalam MUNAS Bandar Lampung kini mereka belum berani, karena mereka beranggapan bahwa praktek tersebut cenderung ke ranah Ijtihad yang harus dihindari oleh para santri, kerena keterbatsan pengetahuan tentang ijtihad yang pengambilan hukumnya merujuk langsung pada al-Quran dan al-Hadist. Dalam hal ini menurut mereka metode manhaji lebih cenderung keranah Ijtihad yang harus di hindari oleh anggota Bahtsul masail.
4. Kitab-Kitab Sumber Rujukan Bahtsul masail
Di dalam dunia pesantren terdapat forum yang bertugas membahas sebuah permasalahan yang dikenal dengan nama populernya yaitu Bahtsul masail. di dalam forum tersebut terdapat beberapa sumber rujukan kitab yang perlu diketahui. oleh karena itu peneliti ingin mengetahui sumber rujukan apa saja yang dijadikan pegangan dalam Bahtsul masail khususnya di Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung. dipondok pesantren tersebut terdapat sumber rujukan Bahtsul masail yang perlu diketahui oleh karenaitu peneliti melakukan wawancara dengan pembina Bahtsul masail yang menyebutkan sebagai berikut:
Di pondok sini terdapat kitab-kitab yang menjadi rujukan Bahtsul masail, diantranya kitab madzhaibul arba’ah yakni, madzhab Syafii, Hanafi, Maliki, dan Hanbali.
Adapun untuk yang selain empat madzhab boleh dipakai asal tidak keluar dari Ahlussunnah wal Jama’ah (wahabi) . hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang menyebutkan sebagai berikut:
Untuk kitab selain Madzhahibul arba’ah boleh dipakai asal bukan kitab (wahabi), contoh bukan kitab wahabi seperti: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, karya Husain Al-Awaysyah, kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, karya Wahbah az-Zuhaili, dan kitab Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnati Wal Kitabil ‘Aziz, karya Syaikh ‘Abdul ‘Azhim Al Badawi hafizhahullah. dll.
Untuk lebih detailnya dari kitab-kitab sumber rujukan Bahtsul masail Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng peneliti akan mengemukakan sebagian dari judul kitab dari berbagai madzhab, dan frekuensi penggunaanya. hal ini sangat penting karena akan diketahui apakah hasil keputusan bahtsul masail itu cenderung kepada salah satu madzhab atau seimbang. Dengan melihat kitab rujukan dan frekuensi tersebut, kecerendungan berbagai madzhab akan terbaca. Berikut ini daftar kitab yang dijadikan rujukan Bahtsul masail Pondok pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung beserta frekuensi penggunaanya dalam 15 tahun yakni tahun 2000-2015.
Tabel. 4.1
Kitab Madzhab Syafii yang Menjadi Rujukan Bahtsul masail
Tabel. 4.2
Kitab Madzhab Hanafi yang Menjadi Rujukan Bahtsul masail
Tabel. 4.3
Kitab Madzhab Maliki yang Menjadi Rujukan Bahtsul masail
Tabel 4.4
Kitab Madzhab Hanbali yang Menjadi Rujukan Bahtsul masail
Tabel 4.5
Kitab-Kitab Umum yang Menjadi Rujukan Bahtsul masail
Sesuai dengan data bahwa sumber rujukan Bahtsul masail FMPP Jawa Madura (eksternal) PP AL FALAH TRENCENG Tulungagung teradapat 103 kitab yang menjadi rujukan dalam Bahtsul masail. untuk kitab madzhab Syafii berjumlah 64 buah kitab dan di luar madzhab Syafii hanya terdapat 39 buah kitab, adapun perincian dari luar madzhab Syafii sebagai berikut: untuk madzhab Hanafi hanya 5 buah kitab, madzhab Maliki 10 buah kitab, madzhab Hanbali 12 buah kitab dan kitab fiqh umum terdapat 12 kitab.
Adapun untuk sumber rujukan Bahtsul masail di dalam pondok (internal) teradapat 61 kitab yang menjadi rujukan dalam Bahtsul masail. untuk kitab madzhab Syafii berjumlah 52 buah kitab dan di luar madzhab Syafii hanya terdapat 12 buah kitab, adapun perincian dari luar madzhab Syafii sebagai berikut: untuk madzhab Hanafi hanya 02 buah kitab, madzhab Maliki 03 buah kitab, madzhab Hanbali 03 buah kitab dan kitab fiqh umum terdapat 4 kitab.
Dalam hal ini untuk memudahkan keterangan sumber rujukan Bahtsul masail FMPP Jawa Madura maupun bahtsul masail dalam pondok, Peneliti akan membuat tabel dari rincian tersebut, untuk rincianya sebahgai berikut:
Tabel. 4.6
Klasifikasi Kitab Rujukan Bahtsul masail Tulungagung
Untuk frekuensi penggunaan kitab rujukan Bahtsul masail FMPP Jawa Madura (exsternal) di pondok pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung juga dapat diketahui bahwa dari penggunaan kitab sebanyak 1069 kali yang terbanyak bersumber dari kitab-kitab Syafiiyah yakni sekitar 734 kali. sedangkan kitab diluar madzhab Syafii hanya mendapat 335 kali. Adapun rincian sebagai berikut untuk madzhab Hanafi hanya 45 kali, untuk madzhab Maliki 77 kali, untuk madzhab Hanbali 104 kali dan untuk kitab fiqh umum 109 kali
Dan untuk frekuensi penggunaan kitab rujukan Bahtsul masail yang di dalam pondok (internal) dapat diketahui bahwa dari penggunaan kitab sebanyak 1504 kali yang terbanyak bersumber dari kitab-kitab Syafiiyah yakni sekitar 1340 kali. sedangkan kitab diluar madzhab Syafii hanya mendapat 184 kali. Adapun rincian sebagai berikut untuk madzhab Hanafi hanya 09 kali, untuk madzhab Maliki 11 kali, untuk madzhab Hanbali 14 kali dan untuk kitab fiqh umum 150 kali
Untuk memudahkan keterangan, frekuensi rujukan Bahtsul masail diatas. Peneliti akan membuat tabel dari rincian tersebut, untuk rincianya sebahgai berikut:
Tabel. 4.7
Frekuensi Penggunaan Kitab Rujukan Bahtsul masail Tulungagung (2000-2015)
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa kitab-kitab Syafiiyah lebih mendominasi dibandingkan kitab luar madzhab Syafii, baik itu bahtsul masail FMPP Jawa Madura (exsternal) maupun batsul masail didalam pondok (internal). bisa dilihat bahwa bahtsul masail FMPP Jawa Madura kitab-kitab dari madzhab Syafii yang digunakan dalam rujukan sebanyak 64 buah kitab (63,76 %) dengan frekuensi 734 kali (71,28 %) sedangkan selain madzhab Syafii sebanyak 39 buah kitab (36,54 %) dengan frekensi 335 kali (28,71 %), adapun perincian dari luar madzhab Syafii sebagai berikut: untuk madzhab Hanafi hanya 5 buah kitab (4,93 %), dengan frekuensi 45 kali (3,58 %) madzhab Maliki 10 buah kitab (9,05 %), dengan frekuensi 77 kali (6,72 %) madzhab Hanbali 12 buah kitab (11,12 %) dengan frekuensi 94 kali (8,46 %) dan kitab fiqh umum terdapat 12 buah kitab (11,13 %) dengan frekuensi 109 kali (9,95 %).
Adapun untuk sumber rujukan Bahtsul masail di dalam pondok (internal) untuk kitab madzhab Syafii berjumlah 52 buah kitab (83,68 %) dengan frekuensi 1340 kali (88,79 %) dan di luar madzhab Syafii hanya terdapat 12 buah kitab (16,04 %), dengan frekuensi 184 kali (11,20 %) adapun perincian dari luar madzhab Syafii sebagai berikut: untuk madzhab Hanafi hanya 02 buah kitab (1,99 %), dengan frekuensi 9 kali (0,79 %) madzhab Maliki 03 buah kitab (3,47 %), dengan frekuensi 11 kali (0, 88 %) madzhab Hanbali 03 buah kitab (3,46 %) dengan frekuensi 14 kali (0,97 %) dan kitab fiqh umum terdapat 4 buah kitab (7,12 %), dengan frekuensi 150 kali (8,56 %).
Penggunaan kitab-kitab Syafiiyah ini menurut Ustadz Zamroni lebih mendominasi keputusan bahtsul masail FMPP Jawa Madura dan bahtsul masail dalam pondok, daripada kitab-kitab luar madzhab Syafii karena menuurut beliau secara realistis kitab-kitab yang dipelajari di pesantren adalah kitab-kitab madzhab Syafii.
Hal ini senada yang di ungkapkan Ustadz Abdul Ghofur yang menyatakan bahwa kitab-kitab Syafiiyah lebih mendominasi hasil keputusan bahtsul masail FMPP Jawa Madura dan bahtsul masail di dalam pondok karena kebayakan pesantren juga dalam sistem belajar dan mengajar menggunakan kitab-kitab madzhab Syafii seperti kitab Ianat al-Talibin, Fathul Qorib, Fathul Mu’in dll. Menurut beliau hampir semua permasalahan dicari jawabanya menggunakan kitab-kitab tersebut.
Dalam hal ini Ustadz Ubaidillah menyatakan bahwa dalam bahtsul masail penggunaan kitab Syafiiyah lebih dominan daripada kitab-kitab luar madzhab Syafii karena kitab-kitab Syafiiyah paling cocok dengan adat, tradisi masyarakat indonesia. dan kitab-kitab Syafiiyah lebih terperinci daripada kitab imam Syafii (Al-Umm), karena didalam kitab imam Syafii sendiri masih umum, masih terdapat qoul qodim dan qoul jadid, dan imam Syafii sendiri ketika menggunakan qoul qodim masih berada di Mesir, dan pindah ke Irak menggunakan qoul jadid.
Hal ini senada apa yang dikatakan dengan Ustadz Syukron baihaqi yang menyatakan bahwa penggunaan kitab-kitab Syafiiyah lebih mendominasi karena mayoritas masyarakat indonesia mengikuti madzhab imam Syafii. sehingga dalam keputusan bahtsul masail, rata-rata menggunakan kitab-kitab Syafiiyah.
penggunaan kitab Syafiiyah dengan frekuensi tertinggi ini tampaknya merupakan jawaban praktis-aplikatif. Praktis artinya peserta bahtsul masail memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diajukan kepadanya menggunakan kitab-kitab rujukan yang selama ini dikaji dan diajarkan di pesantren mereka. sedangkan aplikatif karena hasil keputsusan itu didasarkan pada masyrakat yang diikuti pengguna.
Keputusan Bahtsul masail Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung tahun 2000-2015 juga banyak menggunakan kitab-kitab umum (baru) sebagai rujukan dalam menjawab permasalahan, seperti kitab al-Mausuah al-Fiqhiyyah, karya Husain Al-Awaysyah. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arbaah, karya Abdurrohman al-Jaziri, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, karya Wahbah az-Zuhaili. dll. ini merupakan sesuatu yang baru dalam kerja bahtsul masail pondok pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung.
Dalam hal ini kang Riyadul Mutaid menyatakan bahwa kitab-kitab umum (baru) yang dijadikan sumber rujukan bahtsul masail, hanya sebagai pendukung ketika dalam suatu permasalahn, tidak ditemukan dalam kitab-kitab Syafiiyah, maka kitab-kitab tersebut bisa dipakai rujukan, asalkan kandungan kitab tersebut tidak keluar dari koridor ajaran ahlussnah wal jamaah (wahabi) dan madzhab empat. Penggunaan kitab-kitab diluar madzhab empat bisa diambil secara selektif. Jika dalam bahtsul masail menerima pendapat dari luar madzhab empat, bukan berarti menerima secara mutlak. tapi penggunaan kitab tersebut sebagian diterima dan sebagian ditolak. Penggunaan kitab empat madzhab tidak mutlak. pendapat di luar madzhab bukan berarti salah. meskipun penggunaan kitab rujukan dari luar madzhab empat tidak sesuai dengan ketentuan yang ada di AD-ART NU yang isinya kurang lebih NU sebagai Jamiyah diniyah islamiyah menganut faham ahlussunnah wal jamaah, menurut salah satu madzhab empat yakni Syafii, Hanafi Maliki dan hanbali. hal ini tidak menjadi problem di dalam pengambilan keputusan bahtsul masail PP AL FALAH TRENCENG Tulungagung.
Sementara itu ustadz Zamroni menambahkan dan menyatakan bahwa kitab-kitab umum (baru) seperti kitab al-Mausuah al-Fiqhiyyah, karya Husain Al-Awaysyah. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arbaah, karya Abdurrohman al-Jaziri, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, karya Wahbah az-Zuhaili, meskipun ini kitab umum (baru), didalam kitab tersebut memuat pendapat beberapa madzhab empat, baik itu pendapat madzhab Maliki, Syafii, Hanafi dan Hanbali. Dalam kitab tesebut pengarang mencantumkan berbagai madzhab yang telah ada (madzhab empat) dan pendapat para ulama’ kemudian di akhir pemaparan pengarang mencantumkan pendapatnya.
Gus Ali Musofa menyatakan pendapat bahwa kitab-kitab Syafiiyah, sebenarnya sudah cukup untuk menjawab suatu permasalahan yang ada di dalam bahtsul masail PP AL FALAH TRENCENG Tulungagung, lebih-lebih dalam bahtsul masail ada metode ilhaqi. Namun seringkali dalam kitab-kitab klasiq hanya terdapat ‘ibarah yang sifatnya global. sementara di dalam kitab-kitab umum (baru) terdapat ‘ibarah yang sifatnya lebih terperinci, oleh karena itu para santri (musawirin) dalam bahtsul masail lebih suka mengambil ‘ibarah yang terperinci.
B. Temuan Penelitian
1. Praktek Istinbath Hukum Bahtsul masail Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung
Dalam Praktek Istinbath Bahtsul Masail Terdapat beberapa hal yang perlu di persiapkan sebelum Bahtsul masail dimulai salah satunya adalah penjaringan soal, yang mana soal-soal harus diseleksi dulu sebelum di bahas ke forum tersebut. Untuk Bahtsul masail yang internal penjaringannya lewat pertanyaan-pertanyaan para santri atau ustadz pondok, pertanyaan tidak langsung di unggah ke forum Bahtsul masail, tetapi harus diseleksi dahulu mana soal yang pantas diunggah dan mana yang tidak pantas, untuk soal yang pantas diunggah biasanya soal yang bersifat kekini-kinian (waqiyah). Dan untuk Bahtsul masail yang (eksternal) penjaringanya lewat internet (email), biasanya dari pihak (pondok) meminta pertanyaan keluar pondok-pondok yang ada diwilayah sekitar Jawa dan Madura. Dalam penjaringan soal ada waktu yang cukup untuk hal tersebut. untuk bahtsul masail yang internal penjaringan soal selama 2 minggu dan untuk bahtsul masail yang eksternal selama 1 bulan.
Dalam praktek Batsul masail ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum pembahasan tersebut dimulai seperti moderator, perumus, Mushohih, dan para Musawirin. Dan seorang yang diberi tugas menjadi moderator seseorang tersebut harus pintar dan responsif dalam memimpin Bahtsul masail.
Selanjutnya setelah mempersiapkan komponen-komponen tersebut, sidang bahtsul masail baru dimulai, pertama yang dilakukan dalam sidang tersebut adalah Pembukaan kedua Tashowwur Masalah ketiga Penyampaian Jawaban (I’tidlodl) keempat Kategorisasi Jawaban kelima Perdebatan Argumentatif (I’tirodl) keenam Pencerahan Refrensi dan/atau perumusan jawaban ketujuh Tabyyun kedelapan Perumusan Jawaban kesembilan Pengesahan
Prosedur Istinmbath Hukum Bahtsul masa’il
Dalam prosedur pengambilan Hukum keputusan Bahtsul masail PP Al Falah Trenceng Tulungagung dibuat dalam kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qawli. Untuk Prosedur pengambilan hukum Bahtsul masail ketika dalam kasus jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutubul madzahib al-arba'ah dan disana terdapat hanya satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut. dan apabila dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan disana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jama'iy untuk memilih salah satu pendapat.
Adapun prosedur pemilihan Qoul/wajah ketika dalam satu masalah dijumpai beberapa Qoul/wajah dilakukan dengan memilih satu pendapat. hal ini didukung dengan hasil wawancara yang menyebutkan: Dalam Pemilihan Qoul/wajah ketika dalam satu masalah tidak dijumpai beberapa Qoul, itu ada tatacaranya sendiri
Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan/atau yang lebih kuat.
Ketika terjadi perbedaan pendapat sedapat mungkin diselesaikan dengan cara memilih:
Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi'i)
Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi.
Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi'i.
Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama’.
Pendapat ulama’ yang terpandai.
Pendapat ulama’ yang paling wara’.
Apabila dilakukan taqrir jama’i tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur yang terakhir yakni Ilhaqul masail bi nazhairiha secara jama'iy (Ilhaq) oleh para cendikiawan muslim (peserta Bahtsul masail). Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaq bih dan wajah Ilhaq oleh mulhiq yang ahli. Apabila ilhaq tidak bisa ditemukan maka pembahasan tersebut dimauqufkan dulu.
Adapun untuk Prosedur istinbath yang diputuskan didalam MUNAS Bandar Lampung kini mereka belum berani, meskipun didalam keputusan MUNAS tersebut, Istinbath diranah Madzhab.
Kitab-Kitab Sumber Rujukan Bahtsul masail Pondok Pesantren Hidayatul
Di Pondok pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung, pada dasarnya tidak ada pembatasan secara kuantitas mengenai kitab-kitab yang dipakai acuan di dalam bahtsul masa’il kitab apa saja boleh dipakai, asalkan tidak keluar dari paham Ahlussunah wa al- Jama’ah Ala Thoriqot Nahdlotul Ulama’ dan bukan kitab Wahabi. Dengan memakai pegangan madzhab empat yakni Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Meskipun ada kitab-kitab kontemprorer yang sering juga dipakai dalam bahtsul masail seperti Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, karya Husain Al-Awaysyah, kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, karya Wahbah az-Zuhaili, dan kitab Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnati Wal Kitabil ‘Aziz, karya Syaikh ‘Abdul ‘Azhim Al Badawi hafizhahullah. dll. kitab-kitab tersebut meskipun tidak bermadzhab kepada salah satu imam madzhab tapi didalam kitab-kitab tersebut banyak yang mengutip pendapat imam madzhab 4.
Dengan demikian, bahtsul masa’il yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng tidak pernah keluar dari kitab-kitab fiqih Al-Madzahib Al-Arba’ah.
C. Pembahasan Temuan Penelitian
1. Praktek Istinbath Hukum Bahtsul masail Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung
Istinbath hukum bahtsul masail dengan istinbath dalam pengertian umum sangat berbeda, kalau Istinbath secara umum mengeluarkan hukum-hukum fiqh dari al-Qur’an dan al-Sunnah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul”. Sedangkan Istinbath Hukum bahtsul masail Pengertian istinbath hukum dikalangan Pondok pesantren bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya , yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetapi sesuai dengan sikap bermadzhab men-tabiq-kan (memberlakukan) secara dinamis nass-nass fuqoha’ dalam konteks permasalahan yang di cari hukumnya.
Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama cenderung ke arah perilaku ijtihad, oleh ulama’ NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus di kuasai oleh seorang mujtahid.
Dalam Praktek Istinbath Hukum bahtsul masail Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung ada beberapa hal yang perlu di persiapkan sebelum pelaksanaan Bahtsul masail salah satunya adalah penjaringan soal, yang mana soal-soal harus diseleksi dulu sebelum di bahas ke forum tersebut. Untuk Bahtsul masail yang internal penjaringannya lewat pertanyaan-pertanyaan para santri atau ustadz pondok, pertanyaan tidak langsung di unggah ke forum Bahtsul masail, tetapi harus diseleksi dahulu mana soal yang pantas diunggah dan mana yang tidak pantas, untuk soal yang pantas diunggah biasanya soal yang bersifat kekini-kinian (waqiyah). Dan untuk Bahtsul masail yang (eksternal) penjaringanya lewat internet (email), biasanya dari pihak (pondok) meminta pertanyaan keluar pondok-pondok yang ada diwilayah sekitar Jawa dan Madura. Dalam penjaringan soal ada waktu yang cukup untuk hal tersebut. untuk bahtsul masail yang internal penjaringan soal selama 2 minggu dan untuk bahtsul masail yang eksternal selama 1 bulan.
Dalam pelaksanakan Batsul masail ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum pembahasan tersebut dimulai seperti moderator, perumus, Mushohih, dan para Musawirin. Dan seorang yang diberi tugas menjadi moderator seseorang tersebut harus pintar dan responsif dalam memimpin Bahtsul masail.
Adapun syarat-syarat untuk menjadi moderator sebagai berikut:
Responsive, yakni moderator diharap seorang yang tanggap dengan situasi dan kondisi musyawarah yang sedang berjalan. Ia harus peka dan tanggap terhadap seluruh masukan serta pendapat akan dari seluruh peserta. Oleh karena itu diharuskan bagi seorang moderator harus memahami mendetail materi dan pokok bahasan yang akan didiskusikan.
Moderat, yakni moderator harus mampu bersikap netral, moderat, tengah dan adil dalam menyikapi seluruh tanggapan dari peserta tidak ada unsure memehak apalagi memenangkan pendapat sendiri, hal ini malah akan memicu pertengkaran diantara peseta musyawaroh yang lain yang merasa pendapatnya dikucilkan
Selektif, yaitu moderator harus mampu memilih dan memilah pendapat-pendapat yang bisa diangkat sebagai topik yang tepat dalam diskusi. Disini dibutuhkan ketegasan dan kebijaksanaan moderator dalam menyikapi seluruh pendapat peserta musyawarah yang terkadang ingin pendapatnya menang sendiri dan tidak terjebak dalam debat kusir serta melenceng dari pokok bahasan.
Obyektif, yaitu moderator harus bisa menanggapi seluruh jawaban dari peserta dengan obyektif tidak subyektifitas. Dalam arti, keputusan harus didasarkan pada substansi pendapat peserta, bukan berdasarkan subyektifitas moderator, sehingga akan memunculkan kelancaran dalam berdiskusi.
Komunikatif, yaitu moderator haruslah seorang yang mampu berkomunikatif dengan baik, dan mampu mencarikan jalan tengah bagi pendapat yang berseberangan dan menjembatani pendapat peserta musyawarah tersebut, hal ini sangat terjadi karena terdapat season I’tiradl dan I’tidladl ketika berlangsungnya musyawarah, sehingga menuju kesimpulan yang final.
Representative, yaitu moderator harus mampu menyimpulkan jawaban dan pendapat di akhir dengan utuh dan sederhana agar mudah dipahami, serta pendapat yang mencuat pada waktu musyawarah tidak terabaikan.
Dalam paparan diatas moderator sebagai bagian penting dalam musyawaroh dalam sisitem Bahtsul masail karena tanpa moderator Bahtsul masail tidak akan berjalan dengan maksimal. dalam musyawaroh sisitem Bahtsul masail bukan hanya moderator saja yang penting tapi muyawirin (peserta musyawaroh) yang jauh penting lagi, karena tanpa Musyawirin, tidak ada yang membahas dan menggali hukum. jadi moderator di ibaratkan sebagai pemimpin musyawaroh (Bahtsul masail) dan Musyawirin (peserta musyawaroh) diibaratkan orang yang dipimpin dalam musyawaroh tersebut.
Untuk menjadi Musyawirin seseorang harus pandai membaca dan memahami kitab-kitab yang akan di kaji dalam forum tersebut. Dan agar Musyawirin bisa berkembang dalam berpendapat maupun berpikir, Menurut al-ustadz Mudaimullah, yang pertama kali harus dilakukan adalah meumbuhkan agresifitas para peserta musyawarah diantaranya:
Himmah Aliyah (Memunyai cita-cita luhur), artinya peserta musyawarah diharapkan untuk memiliki semangat yang tinggi dalam belajar tidak akan mundur apalagi menyerah tanpa daya. Karena hanya dengan semanagt yang tinggilah semua harapan dan cita-cita akan tercapai.
Bermental Baja, Pasti terdapat banyak problem ketika bermusyawarah semisal digojlok lawan, ‘dibantai’, dipojokkan, di remehkan dan lain sebagainya. hal ini sangat dibutuhkan mengingat banyaknya peserta musyawarah yang hadir dengan membawa pendapatnya masing-masing yang tak lain telah didasari dengan dalil-dalil yang telah dipersiapkan dan mereka ingin mempertahankan pendapatnya masing-masing. Karena bila hal itu tidak dimilki maka akan berdampak membunuh karaktek seseorang tidak malah membentuk mental yang kuat, oleh karena itu persiapan mental harus matang. Ingatlah bahwa hal itu adalah suatu yang lumrah dan wajar dalam forum musyawarah karena tanpa hal itu pastilah musyawarah akan terasa hambar dan kurang fantastis. Dan tips untuk membantu mengatasi sikap seperti ini adalah balaslah kata-kata yang menyakitkan dari lawan debat dengan seulas senyuman. Dengan demikian kita akan dapat mengekspresikan ide dan pemikiran secara bebas dan tanpa malu, minder, grogi ataupun sakit hati.
Memiliki Target Operasional Khusus, artinya para peserta musyawarah harus punya target operasional khusus dimana dia akan memulai permainanya dalam berdiskusi, apakah nanti ia akan mengajukan banding ‘ibarah dengan lawan musyawarah atau sekedar bertanya dan atau menyetujui pendapat lawan musyawarah. Hal ini sangat penting karena tanpa target yang jelas seseorang akan kesulitan dalam mengekspresikan keinginan dan harapannya, oleh sebab itulah butuh menentukan target supaya jelas tujuan masing-masing, dan juga untuk mengukur kemampuan dan keberhasilan kita dalam musyawarah.
Semangat bersaing, artinya kita harus yakin terutama pada diri sendiri kalo kita bisa, kita mampu dan kita juga sanggup menjadi peserta musyawarah handal. Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin apabila kita mau berusaha dan belajar, oleh karena itu semangat dan pantang menyerah adalah kuncinya. Sehingga kita bisa menunjukkan eksistensi diri serta mengasah daya analitis dan membentuk karakter intelektualitas.
Punya Selera Berbeda, Selera seperti ini akan dapat membantu meningkatkan sikap kritis dan ketajaman nalar. Artinya berani punya pendapat nyeleneh dengan pendapat kebanyakan orang, hal ini mungkin akan terdengar aneh di telinga para peserta musyawarah yang lain, karena mungkin akan dikatakan mengada-ngada atau caper (cari perhatian) dan pastilah orang seperti ini banyak menuai kontroversi dari banyak pihak. Namun hal itu bukan berarti 100 % salah tanpa adanya bukti yang konkrit, malah apabila pendapat kontroversi itu bisa dipertahankan dan pertanggung jawabkan, tidak menutup kemungkinan akan menjadi senjata untuk mengalahkan pendapat lawan debat.
Tak Kenal Kompromi, peserta musyawarah harus punya nyali kuat mempertahankan pendapatnya masing-masing sepanjang pendapatnya masih ia yakini kebenarannya. Namun bukan berarti sikap seperti ini memicu untuk menyalah-nyalahkan pendapat lawan musyawarah atau lawan debat dan meremehkannya serta menganggap pendapat diri sendiri yang paling benar, namun hal ini penting dilakukan mengingat kita haruslah konsistent dengan pendapat yang kita usung dan tidak mudah goyah apabila disangkal dan dibantai oleh pendapat lawan musyawarah atau lawan debat.
Dalam Bahtsul masail terdapat beberapa elemen yang terdiri Moderator, Peserta Musyawaroh, Perumus, Mushohih. Keempat elemen ini sangat penting dalam pembahasan tersebut, Untuk itu penulis ingin mengemukakan tugas-tugas dan larangan-larangan mereka, yakni sebagai berikut:
Tugas-Tugas Moderator, Perumus, Mushohih, Peserta Musawirin
Tugas Moderator :
Memimpin, menjaga ketertiban, mengatur dan membagi waktu.
Memberi izin, menerima usul dan pendapat Musyawirin.
Meminta narasumber untuk menjelaskan dan menggambarkan masalah sesuai permintaan peserta.
Menunjuk peserta untuk menjawab masalah.
Meminta penjawab untuk membacakan ‘ibarah dan menerangkan kesimpulannya.
Meminta peserta yang pendapatnya tidak sama untuk menanggapi pendapat lain dengan mencari kelemahan jawaban dan kelem ahan ‘ibarah-nya.
Meluruskan pembicaraan yang menyimpang dari pembicaraan.
Membacakan kesimpulan jawaban yang telah disepakati oleh tim perumus, untuk kemudian ditawarkan lagi pada para peserta.
Mengetuk tiga kali bila masalah di anggap selesai dan memohon kepada mushahih untuk memimpin pembacaan al-Fatihah bersama sebagai simbol pengesahan.
Dalam keadaan dharurat, moderator dapat menunjuk salah satu peserta untuk menggantikannya.
Tugas Tim Perumus
Meneliti jawaban-jawaban dan ‘ibarah yang masuk.
Memilih ‘ibarah yang masuk sesuai permasalahan yang dibahas.
Meluruskan jawaban yang dianggap menyimpang.
Memberikan rumusan jawaban dan ‘ibarah-’ibarah pendukung.
Mengikuti jalannya acara bahtsul masa’il.
Tugas Tim Mushahih
Maengikuti jalannya acara bahtsul masa’il.
Memberikan pengarahan dan nasehat kepada peserta dan tim perumus.
Mempertimbangkan dan men-tahshih keputusan dengan bahtsul masa’il dengan bacaan al-Fatihah.
Tugas Peserta Musawirin:
Menempati arena tersedia sepuluh menit sebelum acara dimulai.
Membubuhkan tanda tangan hadir pada buku daftar yang telah disediakan.
Menjawab masalah dan menyampaikan ‘ibarah-nya setelah diberi waktu oleh moderator.
Berbicara (menjawab masalah dan menyampaikan ‘ibarah-nya setelah diberi waktu oleh moderator).
Menyampaikan teks atau ‘ibarah-nya kepada tim perumus.
Menghormati dan menghargai peserta lain.
Larangan-Larangan Bagi Moderator, Perumus, Mushohih, Peserta Musawirin
Larangan Moderator:
Ikut berpendapat
Memihak atau tidak obyektif
Mengintimidasi peserta
Larangan Perumus:
Memaksakan jawaban tanpa ada ‘ibarah dari peserta.
Berbicara sebelum ditunjuk moderator.
Berbiacara diluar materi pembahasan.
Mengganggu konsentrasi peserta, seperti tidur, guyonan atau bersikap emosional.
Pulang sebelum waktunya tanpa seizing moderator.
Larangan-larangan bagi Mushahih:
Membaca al-Fatihah sebelum ada kesepakatan
Pulang waktunya alias membolos, kecuali ada udzur.
Larangan-Larangan bagi Peserta:
Keluar dari forum Bahtsul masail tanpa seizin moderator.
Membuat gaduh dalam forum Bahtsul masail.
Berselisih pendapat dengan teman sedelegasi.
Berbicara tanpa melalui moderator atau debat kusir.
Dalam penetapan hukum sidang bahtsul masail Pondok pesantren terdapat tatacara sendiri dalam membahas suatu permasalahan yakni sebagai berikut :
Pembukaan & Mukaddimah
Dalam sesi ini, moderator harus pandai-pandai mencuri perhatian Musyawirin. Tugas utamanya adalah menggambarkan permaslahan dengan sedikit mendramatisir atau menjelaskan pentingnya permaslahan tersebut di bahas di era sekarang.
Tashowwur Masalah
Sesi ini adalah sesi tentang penjelasan secara detail masalah yang dipertanyakan. Yang bertugas adalah Sail (penanya) jika ada. Jika tidak maka menjadi tugas moderator untuk menjelaskan.Target utama dalam sesi ini mendapatkan pemahaman yang utuh tentang soal sehingga ada kesatuan pemahaman masalah di antara para Musyawirin, termasuk antara Musyawirin dan Sail. Jika memang sangat diperlukan, dapat didatangkan tim ahli. Semisal masalah yang dibahas adalah masalah operasi cesar. Sangat dianjurkan untuk mendatangkan dokter ahli serta beberapa pelaku cesar yang motivasi pelakunya berbeda-beda.
Penyampaian Jawaban (I’tidlodl)
Sesi ini adalah sesi penampungan jawaban dan ‘ibarah. Jika kelompok peserta terlalu banyak, mungkin tidak semua peserta diberi kesempatan untuk menjawab. Hanya saja ditentukan kesamaan jawaban di antara para Musyawirin sehingga moderator bias mengelompokkan jawaban. Selain ‘ibarah harus disetorkan pada tim perumus (muharrir), moderator setidaknya mencatat poin-poin penting yang terdapat dalam jawaban dan ‘ibarah tersampaikan. Oleh sebab itu, moderator haruslah orang yang faham tentang masalah (fiqh) yang dibahas. Pada sesi ini, peserta hanya diberi hak untuk menjawab dan membacakan ‘ibarah tanpa harus memberikan tanggapan atau sanggahan.
Kategorisasi Jawaban
Setelah ‘ibarah dan jawaban terkumpul, maka moderator harus mengkelompokkan jawaban-jawaban yang ada. Lalu menyampaikan kategorisasi/pengelompokan jawaban yang ada dan disampaikan pada seluruh Musyawirin agar Musyawirin tahu tentang perkembangan jawaban-jawaban yang ada. Diupayakan, jawaban-jawaban yang ada dikesankan bertentangan antar dua kelompok atau lebih agar pada sesi selanjutnya tercipta diskusi/debat argumentative.
Perdebatan Argumentatif (I’tirodl)
Sesi ini adalah sesi Musyawirin saling menguatkan pendapatnya masing-masing, dan saling melemahkan pendapat yang berbeda/bertentangan. Selain itu, moderator harus berupaya “mengadu” Musyawirin yang ada.
Selanjutnya musywarin diajak untuk saling melemahkan pendapat kelompok lain yang bertentangan. Dalam sesi ini, musyawairin ketika melemahkan pendapat kelompok lain harus disertai dengan ‘ibarah yang melemahkan kelompok lain. Sedangkan kelompok yang dilemahkan diberi waktu untuk menguatkan pendapatnya disertai dengan penjelasan dan ‘ibarah lain yang menguatkan, bahkan kelompok ini dapat langsung melemahkan balik jawban/’’ibarah Musyawirin yang melemahkannya. Begitu seterusnya sampai ada yang terlihat dominan. Dalam sesi ini, moderator harus benar-benar faham materi, bahkan kemungkinan-kemungkinan jawaban pada sesi ini sudah diprediksi oleh moderator sehingga kemungkinan kecil akan mengarah pada jawaban yang salah. Yang boleh terjadi adalah mengarah pada jawaban yang lemah atau yang kuat dan tentunya yang benar menurut fiqh. Pada sesi ini Musyawirin harus mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk memperkuat jawaban dan ‘ibarahnya serta melemahkan jawaban/’’ibarah yang bertentangan dengannya.Sebelum sesi ini dianggap jenuh atau berakhir, moderator harus merumuskan jawaban sementara baik berstruktur jawaban bertentangan, jawaban tafshil atat jawaban khilaf. Lalu disampaikan pada Musyawirin apakah musywairin setuju dengan kesimpulan moderator dan apakah musywarin setuju jika perlu pencerahan tim perumus. Semua keputusan harus berdasarkan musyawarah.
Pencerahan Refrensi dan/atau perumusan jawaban
Pada sesi ini, setelah sebelumnya moderator sepakat dengan Musyawirin untuk merumuskan/menyimpulkan jawaban sementara dan sepakat untuk menyerahkan masalah pada tim perumus, maka moderator lalu menyerahkan permasalahan pada perumus untuk dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, tim perumus memberikan penjelasan tentang permaslahan yang sedang sulit untuk diselesaikan. Kemungkinan kedua, perumus menyetujui rumusan/menyarankan untuk merubah rumusan jawaban. Dalam hal ini perumus memberikan kritik terhadap ‘ibarah-’’ibarah dan jawaban serta poin-poin yang telah di bahas & memberikan masukan-masukan tentang masalah yang dibahas. Selanjutnya perumus memberikan jalan tengah jika terjadi perselisihan pendapat. Atau perumus memberikan usulan rumusan baru yang didasarkan pada ‘ibarah-’’ibarah dan pendapat Musyawirin. Untuk selanjutnya diserahkan pada moderator agar disetujui atau dilakukan pembahasan lanjutan.
Tabyyun
Pada sesi ini, moderator menerima hasil tim perumus dan sampaikan pada Musyawirin untuk ditindaklanjuti dalam bentuk persetujuan terhadap rumusan jawaban yang diusulkan perumus, atau menyanggah dengan santun rumusan tim perumus sehingga melanjutkan diskusi dengan Musyawirin/tim perumus. Sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat antara Musyawirin dengan tim perumus. Maka perlu ditindaklanjuti oleh tim perumus untuk meluruskan jawaban. Bahkan moderator juga harus pandai mengambil keputusan jalan tengah jika terjadi perbedaan pendapat antara Musyawirin dengan tim perumus. Pada praktik umumnya, tim perumus lebih dimenangkan daripada Musyawirin, tentunya dengan melihat dan mendengar hasil diskusi antara Musyawirin dengan tim perumus.
Jika memang benar-benar terjadi perbedaan pendapat antara tim perumus dengan Musyawirin, maka moderator harus segera memutuskan dengan memberikan jalan tengah atau usulan. Bahkan usulan yang terburuk adalah mauquf. Jika sudah diusulkan dan kedua belah pihak telah sepakat, maka dirumuskan redaksi jawaban sekalipun mauquf.
Perumusan Jawaban dan Mauquf
Jika sudah terjadi kesepakatan Musyawirin atas masukan tim perumus. Maka moderator mempertegas rumusan agar disetujui oleh tim perumus. Artinya, rumusan jawaban dan keputusan apapun harus didasarkan atas musyawarah mufakat seluruh yang hadir. Masalah dianggap mauquf apabila dalam waktu satu jam tidak bisa diselesaikan dan semua Musyawirin, Perumus, serta Mushohih tidak berkenan melanjutkan.
Pengesahan
Jawaban masalah di anggap putus dan sah apabila mendapatkan persetujuan Musyawirin, Perumus dan Mushohih dengan cara mufakat. Artinya setelah melalui proses diskusi panjang, termasuk masalah sudah dirumuskan jawabannya oleh tim perumus atau dinyatakan mauquf, maka moderator meminta kepada mushohih untuk mengesahkan rumusan jawaban. Biasanya, mushohih mengajak peserta Bahtsul masail untuk membaca surat al-fatihah sebagai tanda pengesahan jawaban.
2. Prosedur Istinmbath Hukum Bahtsul masa’il
Untuk Prosedur pengambilan hukum Bahtsul masail ketika dalam kasus jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutubul madzahib al-arba'ah dan disana terdapat hanya satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut. dan apabila dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan disana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jama'iy untuk memilih salah satu pendapat.
Dalam Pemilihan Qoul/wajah ketika dalam satu masalah tidak dijumpai beberapa Qoul, itu ada tatacaranya sendiri
Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan/atau yang lebih kuat.
Ketika terjadi perbedaan pendapat sedapat mungkin diselesaikan dengan cara memilih:
Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi'i)
Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi.
Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi'i.
Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama’.
Pendapat ulama’ yang terpandai.
Pendapat ulama’ yang paling wara’.
Adahal yang menarik disini, ternyata kesepakatan Nawawi dan Rafiii memiliki kualitas lebih tinggi daripada pendapat yang disepakati banyak ulama’ yang keduanya tidak terlibat di dalamnya. Suatu ketentuan yang mesti dilacak reasoningnya sehingga bisa diterima secara logis. Standar apa yang di pakai kedua imam itu dalam menyepakati atau memilih suatu pendapat hingga mereka di unggulkan daripada ulama’ lainya yang semadzhab. Selanjutnya, standar yang paling sulit ditetapkan adalah penilaian ulama’ terpandai dan paling wara’ itu. Potensi dan unsur manakah yang menjadipusat penilaian, tampaknya belum ada kriteria dan ketetapan yang dijadikan pedoman.
Kedua imam tersebut (Nawawi dan Rafiii) yang memperoleh sertifikat dari NU sebagai orang-orang yang mempunyai otoritas dalam menjelaskan pikiran-pikiran imam madzhabnya, Syafii. Dengan ini seakan-akan NU bukan bermadzha seakan-akan NU bukan bermadzhab langsung kepada imam madzhab, melainkan kepada ulama’ madzhab, dalam hal ini Nawawi dan Rafiii. Upaya preferensi kepada kedua imam ini hanya didasarkan kepada sebuah penilaian dan penjelasan tunggal oleh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu’in,”ketahuilah bahwa yang menjadi pedoman mu’ tamad dalam pengambilan keputusan hukum daan fatwa ialah pendapat yang disepakati oleh Syaikhoni, yaitu imam Nawawi dan imam Rafiii. Kemudian jika keduanya berbeda pendapat, maka didahulukan adalah imam Nawawi, kemudian imam Rafiii, kemudian pendapat mayoritas, kemudian pendapat yang terpandai,dan akhirnya paling wara’.
Dipondok pesantren Al-Falah Trenceng pendapat Imam Nawawi dan Imam Rafii lebih di unggulkan dari pada yang lain, karena pendapat mereka lebih berhati-hati dalam mengambil/menggali suatu hukum dan Pendapat Imam Nawawi sesuai dengan adat masyarakat di Indonesia, dan beliau pun termasuk ulama’ yang waro’.
Adapun untuk pengambilan hukum tidak memakai Qoul Imam Syafii dalam kitab Al-Umm tapi memakai pendapat muridnya dan kitabnya, karena di dalam kitab tersebut terdapat beberapa Qoul imam Syafii yakni Qoul Qodim dan Qoul Jadid, untuk yang Qoul Qodim Imam Syafii masih berada di Negara Mesir sehingga beliau berijtihad sesuai dengan adat masyarakat yang ada, setelah dari Mesir beliau pindah ke Negara Bagdad, di Negara ini Imam Syafii mencabut Qoul Qodimnya dan berpindah ke Qoul Jadid.
Agar pembahasan yang dilakukan peneliti mudah di pahami dan dimengerti peneliti mengemukakan contoh prosedur istinbath hukum bahtsul masail menggunakan prosedur qouli dan ilhaqi.
Adapun contoh bahtsul masail menggunakan prosedur Qouli sebagai berikut:
Soal : Apakah amil zakat diperbolehkan menjual zakat fitrah kemudian uang harganya diterimakan pada yang berhak ?
Jawab : Tidak boleh amil zakat berupa bahan makanan, kecuali dalam keadaan memaksa, seperti mengkhwatirkan menjadi rusak atau kesulitan pengangkutan yang besar.
keterangan, dari kitab Anwar Juz 1:
ولا يجوز للإمام والساعى بيع الزكاة إلا الضرورة كا لإشراف على التلف أو خطر الطريق أو الإحتياج إلى مؤنة النقل. (الجزء الأول من الأنوار في باب الزكاة)
Artinya :
Imam/penguasa dan penarik zakat tidak diperkenankan menjual zakat kecuali karena dhorurat, seperti cepat rusak, adanya kekhwatiran (keamanan) di jalan, atau memerlukan biaya transportasi.
Apabila Prosedur qauli tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari kitab mu’tabar, maka yang dilakukan adalah apa yang disebut dengan Ilhaq al -masailbi nazairiha yakni menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya), atau menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi.
Sedangkan contoh dari metode Ilhaq yakni sebagai berikut:
Soal : Bagaimana hukumnya mengerjakan proses bayi tabung? Bayi tabung adalah bayi yang dihasilkan bukan dari persetubuhan, tetapi dengan catra mengambil mani/sperma laki-laki dan ovum/mani perempuan, lalu dimasukkan dalam suatu alat dalam waktu beberapa hari lamanya, setelah hal tersebut dianggap mampu menjadi janin, maka dimasukkan kedalam rahim ibu.
Jawab : Hukumnya memproses bayi tabung di tafsil sebagai berikut:
apabila mani yang ditabung dan yang dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut bukan mani suami istri, maka hukumnya haram.
apabila mani yang ditabung tersebut mani suami istri, tetapi cara mengeluarkan tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram.
apabila mani yang ditabung itu mani suami istri, dan cara mengeluarkan termasuk muhtaram, serta dimasukkan kedalam rahim istrinya sendiri, maka hukumnya boleh
NB:
mani muhtaram ialah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara tidak dilarang oleh syara’. seadng mani bukan muhtaram ialah mani yang selain disebutkan diatas.
tentang anak yang dari mani tersebut dapat Ilhaq atau tidak kepada pemilik mani, terdapat khilaf antara Imam Ibnu Hajar dan Imam Romli.
Menurut Ibnu Hajar tidak bisa Ilhaq kepada pemilik mani secara mutlak (baik keluarnya mani tersebut muhtaram atau tidak) sedangkan menurut Imam Romli anak tersebut bisa Ilhaq kepada pemilik mani bila mani tersebut muhtaram.
keterangan dari kitab:
1) Tafsir Ibnu Katsir VI/125, 2) Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu II/48, 3) Al-Qolyubi VI/32, 4) Al-Tuhfah VI/431, 5) Al-Bajuri II/172, 6) Al-Bugyah 238, 7) Bujayrami Iqna’ IV/36, 8) Kifayatul Ahyar II/113
وقال أبو بكر بن أبي الدنيا: حدثنا عمار بن نصر، حدثنا بَقيَّة، عن أبي بكر بن أبي مريم، عن الهيثم بن مالك الطائي عن النبي صلى الله عليه وسلم: قال: "ما من ذنب بعد الشرك أعظم عند الله من نُطفة وضعها رجل في رَحِم لا يحل له ( تفسير ابن كثير 6 /125)
Artinya :
Dan Abu bakr bin abi al-dunya berkata: telah bercerita kepadaku Ammar bin Nasr, katanya telah bercerita kepadaku Baqiyyah, dari Abi Bakr bin Abi Maryam, dari Hisyam bin Malik At-Thoi dari Nabi Muhammad Saw berkata : Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Alloh SWT,di bandingkan perbuatan seotrang lelski yang meletakkan spermanya (berzina) didalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فلا يسقين ماءه زرع أخيه. (حكمة التشريع وفلسفته 2/48)
Artinya:
Barang siapa yang beriman kepada Alloh SWT, dan hari kiamat, maka janganlah sekali-kali menyiramkan air spermanya (berzina) dikebun (rahim) saudaranya.
وَلَوْ اَتَتْ بولد علم أنه ليس منه مع إمكانه منه لزمه نفيه لأن ترك النفي يتضمن استلحاق من ليس منه حرام. (القليوبي 4/32)
Artinya:
Seandainya ada wanita yang datang dengan membawa seorang anak yang diketahui bahwa anak tersebut bukan berasal dari lelaki (suaminya) walaupun ada kemungkinan berasal darinya, maka lelaki tersebut harus menolaknya (sebagai anak), karena tidak adanya penolakan dapat mengandung pengertian pengakuan terhadap anak yang bukan bersal darinya dan haram.
(والحاصل) المراد بالمني المحترام حال خروجه فقط على ما اعتقده م ر وانكان غير محترم حال الدخول وتجب العدة به اذا طلقت الزوجة قبل الوطء على المعتمد خلافا لإبن حجر لأنه يعتبر ان يكون محترما في الحالين كما قرره شيخنا. (انظر الي البجيرم على الإقناع 4/26)
Artinya:
Kesimpulanya adalah, bahwa yang dimaksud dengan sperma yang terhormat (tidak haram) itu adalah hanya keluarnya saja, sebagaimana yang diyakini oleh Imam Romli, walaupun tidak terhormat ketika masuk (saat bersetubuh). Karenaya maka wajib beriddah jika wanita tersebut bercerai sebelum disetubuhi sesuai dengan pendapat yang lebih kuat, bebeda dengan pendapat Ibnu Hajar yang menganggapnya sebagai sperma terhormat baik saat keluar ataupun masuk sebagaimana yang ditetapkan oleh Syaikhuna.
لو استمنى الرجل منيه بيد امرأته أو أمته جاز لأنها محل استمتاعها (كفاية الأخيار 2/133)
Artinya:
Seandainya seseorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya atau budak wanitanya, maka hal tersebut boleh karena istri dan budaknya itu memang tempat/wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.
Adapun ketika dilakukan Ilhaq tidak bisa sama sekali maka perkara tersebut di mauqufkan. Meskipun dalam MUNAS Bandar Lampung memutuskan menggunakan Istinbath Jama’i (metode Manhaji) yang merujuk pada al-Quran, al-Hadis.
Istinbath Jama’i (manhaji) adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaanyang ditempuh dalam bahtsul masail dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah-kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam mazhab.
Jawaban terhadap permasalahan yang dikaji dalam bahtsul masail yang tidak mencantumkan dalil dari suatu kitab ataupun memberikan suatu argumentasi detail, setelah tidak dapat dirujukkan kepada teks suatu kitab mu’tabar maka digunakanlah metode manhaji dengan mendasarkan jawaban mula-mula pada al-Qur’an, setelah tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an lalu pada hadits dan begitu seterusnya yang akhirnya sampailah pada jawaban dari kaidah fiqhiyah.
Secara resmi metode ini baru dipopulerkan penggunaannya dalam Munas Alim Ulama’ NU di Bandar Lampung tahun 1992. Dalam hal ini Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung dalam istinbath hukum bahtsul masail hanya menggunakan prosedur Qouli dan Ilhaq, adapun untuk prosedur Istinbath jam’i (manhaji) kini belum berani karena istinbath jam’i menurut mereka masuk keranah ijtihad.
3. Kitab-Kitab Sumber Rujukan Bahtsul masail
Di Pondok pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung, dalam pengambilan sumber rujukan bahtsul masa’il mengenai kitab-kitab yang dipakai acuan di dalam bahtsul masa’il kitab apa saja boleh dipakai, asalkan tidak keluar dari paham Ahlussunah wa al- Jama’ah Ala Thoriqot Nahdlotul Ulama’ dan bukan kitab Wahabi. Dengan memakai pegangan madzhab empat yakni Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali. (Kutub al-Mu’tabarah)
Untuk menentukan kitab mu’tabar dan yang tidak mu’tabar dalam pandangan NU haruslah merujuk pada keputusan konstitusionalnya. Kriteria kutub al-mu’tabaroh yang legal konstitusional ubtuk menyelaseikan problem hukum warga NU sebenarnay dapat dikatakan terlambat. Sebab sejak dimulainya Bahtsul masail yang pertama, yakni dalam Mu’tamar 1 tahun 1926, baru pada Munas Alim Ulama tahun 1983 di Situbondo hal tersebut di permasalahkan, di bahas dan kemudian ditentukan kriteria ke-mu’tabar-an suatu kitab.
Dalam Munas tersebut dijelaskan bahwa maksud kitab mu’tabar adalah kutub al-madzahib al-arbaa’h (kitab-kitab mengacu pada madzhab empat). Walaupun tidak tidak diterangkan kitab standar kitab mu’tabar mangacu pada madzhab empat namun dapat diyakini bahwa hal itu disebabkan angaran dasar NU memang mengacu pada madzhab empat.
Hal diatas akan menjadi lebih rumit lagi karena ternyata ada beberapa penulis yang tidak mengafilisikan dirinya dengan salah satu madzhab tertentu dari madzhab empat, tetapi kitab-kitab mereka digunakan sebagai rujukan untuk memecahkan persoalan yang amsuk pada lajnah Bahtsul masail. Tentunya akan ada kerumitan untuk mengafilisikan dengan salah satu madzhab empat posisi penulis, seperti at-Tabari, Abdurrohman al-Jaziri, Sayyid Sabiq, dan Wahbah az-Zuhaili.
Dalam Munas alim ulama’ di Bandar Lampung pada 21-25 Juni 1992 diadakan pembahasan lagi tentang definisi kutub al-mu’tabarah. Menurut Munas ini definisi kutub al-mu’tabarah adalah kitab-kitab tentang ajaran islam yang sesuai dengan doktrin Aswaja (Ahlussunnah wal jama’ah). Namun dengan pembatasan kitab mu’tabaryang distandarisasi dari aspek kesesuainya dengan Aswaja, definisi kitab mu’tabar tetap tidak tegas tuntas. Di satu sisi tidak tertututp kemukinan adanya kitab-kitab selain madzhab empat (sepert fikh sunnah subusalam dan sebagainya) dapat dikatagorikan sebagai kitab-kitab mu’tabaroh. Disisi yang lain definisi operasional Aswaja sendiri masih polemis sehingga akan melupakan persoaalan tersendiri untuk mengklasifikasi kitab-kitab mana yang sesuai atau tidak sesuai dengan doktrin Aswaja. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang dilapangan tidak terjawab baik secara formal (tertulis) maupun informal (lisan).
Adapun untuk Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung dalam menyikapi sumber rujukan bahtsul masail menggunakan kitab-kitab selain merujuk salah satu madzhab empat, atau bisa dikatakan kitab-kitab baru, seperti kitab, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, karya Husain Al-Awaysyah, kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, karya Wahbah az-Zuhaili, dan kitab Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnati Wal Kitabil ‘Aziz, karya Syaikh ‘Abdul ‘Azhim Al Badawi hafizhahullah, meskipun kitab-kitab ini tidak bermadzhab pada salah satu madzhab empat, didalam kitab tersebut memuat beberapa Qoul imam madzhab empat, baik itu pendapat madzhab Maliki, Syafii, Hanafi dan Hanbali. Dalam kitab tesebut pengarang mencantumkan berbagai madzhab yang telah ada (madzhab empat) dan pendapat para ulama’ kemudian di akhir pemaparan pengarang mencantumkan pendapatnya.
Di Pondok pesantren Al-Falah Trenceng Tulungagung, kitab-kitab umum (baru) yang dijadikan sumber rujukan bahtsul masail, hanya sebagai pendukung ketika dalam suatu permasalahn, tidak ditemukan dalam kitab-kitab Syafiiyah, maka kitab-kitab tersebut bisa dipakai rujukan, asalkan kandungan kitab tersebut tidak keluar dari koridor ajaran ahlussnah wal jamaah (wahabi) dan madzhab empat. Penggunaan kitab-kitab diluar madzhab empat bisa diambil secara selektif. Jika dalam bahtsul masail menerima pendapat dari luar madzhab empat, bukan berarti menerima secara mutlak. tapi penggunaan kitab tersebut sebagian diterima dan sebagian ditolak. Penggunaan kitab empat madzhab tidak mutlak. pendapat di luar madzhab bukan berarti salah. meskipun penggunaan kitab rujukan dari luar madzhab empat tidak sesuai dengan ketentuan yang ada di AD-ART NU yang isinya kurang lebih NU sebagai Jamiyah diniyah islamiyah menganut faham ahlussunnah wal jamaah, menurut salah satu madzhab empat yakni Syafii, Hanafi Maliki dan hanbali. hal ini tidak menjadi problem di dalam pengambilan keputusan bahtsul masail PP Al Falah Trenceng Tulungagung.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Praktek istinbath hukum bahtsul masail di Al Falah Trenceng Tulungagung mempunyai tatacaranya sendiri sebelum bahtsul masail di mulai panitia harus melakukan penjaringan soal, sesudah penjaringan soal panitia harus mempersiapkan elemen penting yakni: Moderator, Perumus, Mushohih, dan Musawirin. Setelah mempersiapkan komponen-komponen tersebut, sidang bahtsul masail baru dimulai, pertama yang dilakukan dalam sidang tersebut adalah Pembukaan kedua Tashowwur Masalah ketiga Penyampaian Jawaban (I’tidlodl) keempat Kategorisasi Jawaban kelima Perdebatan Argumentatif (I’tirodl) keenam Pencerahan Refrensi dan/atau perumusan jawaban ketujuh Tabyyun kedelapan Perumusan Jawaban kesembilan Pengesahan.
Dalam Prosedur Pengambilan Hukum Bahtsul masail di Al Falah Trenceng Tulungagung apabila dalam kasus jawaban bisa dicukupi oleh ‘Ibarah kitab dari kutubul madzahib al-arba'ah dan disana terdapat hanya satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut. dan apabila dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘Ibarah kitab dan disana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih salah satu pendapat. Apabila taqrir jama’i tidak ada qoul yang memberikan penyelesaian sama sekali, maka menggunakan cara terakhir yakni prosedur Ilhaqul masail bi nazhairiha secara jama’i. Dan apabila dalam penggunaan prosedur Ilhaq tidak bisa ditemukan jawaban, maka perkara tersebut dimauqufkan. Meskipun dalam keputusan MUNAS Bandar Lampung memutuskan dengan Istinbath Jama’i, yang pengambilan hukumnya langsung merujuk pada Al-Quran dan Al-Hadist dengan menggunakan Usul fiqih dan Qowaidul fiqhiyah. tanpa menggunakan ‘Ibarah suatu kitab.
Dalam penggunaan kitab-kitab rujukan Bahtsul masail, pondok pesantren Al Falah Trenceng Tulungagung menggunakan kitab-kitab mu’tabar (kutubul madzahibul arba’ah) yang sesuai dengan faham aliran Ahlussunnah wal jama’ah ala Thoriqot Nahdlatul Ulama’ dan bukan kitab Wahabi. Dalam hal ini Nahdlotul Ulama’ dalam bidang fiqih memakai pegangan madzhab empat yakni Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali. Dengan demikian, bahtsul masail yang diselenggarakan oleh LBM (lajnah bahtsul masail) tidak pernah keluar dari kitab-kitab fiqih Al-Madzahib Al-Arba’ah. Adapun untuk Fiqh Amm (umum) seperti Al-Mausu’ah Al-Fiqihiyah Al-Muyassarah, karya Husain Al-Awaysyah, kitab Al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh, karya Wahbah az-Zuhaili, dll. Hal ini tetap di pakai karena didalam kitab tersebut terdapat beberapa pendapat madzhab empat, meskipun hal itu bukan kitab dari empat madzhab.
B. Saran-Saran
Dalam Penelitian ini peneliti menyarankan kepada semua pihak yang berkecimpung di dalam forum Bahtsul masail Pondok Pesantren agar mengikuti keputusan MUNAS di Bandar Lampung yang sistem pengambilan hukumnya menggunakan Prosedur Istinbath Jama’i. Ketika menggunakan Prosedur Ilhaq tidak ditemukan jawaban, tidak di mauqufkan begitu saja. Karena dengan adanya perkembangan zaman semakin dinamis dan progesif, kalau permasalahan yang belum terjawab tetap di mauqufkan, permasalahan yang lain akan semakin bertambah banyak, untuk itu penggunaan prosedur istinbath jama’i sebaiknya dipakai dalam sistem pengambilan hukum Bahtsul masail di Pondok pesantren, maupun di LBM yang lain, agar jawaban yang tidak terjawab tidak mauquf, dan bisa menjawab permasalahan-permasalahan yang sedang progesif dan dinamis.
DAFTAR RUJUKAN
Abdulloh, Sulaiman. 2004. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Flekbilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika.
Al-Ghazali. 1997. Al-Mustashfa min al-‘Ilmi al-Ushul. Beirut: al-Resalah.
Ali Jum’ah. 2004. Qaul as-shahabi‘inda Ushuliyyin, Dar Ar-Risalah: t.p.
al-Jaziry, Abd al-Rahman. t.t. Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, (al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah.
Al-Maududi, Abu al-A’la. 1995. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat. Bandung: Mizan.
Al-Mubtadiin “Metode Musyawarah dan Bahtsul Masail” dalam http://amubtadi.blogspot.co.id/2011/07/metode-musyawarah-dan-bahtsul-masail.html, diakses 24 Juli 2011
Ansor, Ahmad Muhtadi. 2012. Bahtsul Masail NU Melacak Dinamika Kaum Tradsionalis. Yogyakarta: Teras.
Arikunto, Suharsimi. 2000. Menejemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Azis, Aceng Abdul dkk. 2007. Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Cet. II. Jakarta: Pustaka Ma’arif NU.
Azwar, Saifudin. 2001. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bagir, Haidar & Basri, Syafiq. 1996. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan Anggota IKAPI.
Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Fadeli, Soeleiman & Subhan, Mohamaad. 2008. Antologi NU. Surabaya : Khalista.
Haidar, M. Ali. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hakim, Abdul Hamid. t.t. Assulam juz tsani. Jakarta: Maktabah assa’diyah futr.
Ibrahim, Nana Sudjana. 1984. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.
M. Miftahul Ulum, “Peningkatan Daya Kritis Santri Melalui metode Bahtsul Masail” dalam http://chantryintelex.blogspot.co.id/2010/06/blog-post.html, diakses 28 Juni 2010.
Madany, Malik. 1993. Pola Penetapan Hukum Islam Nahdlatul Ulama, Antara Fakta dan Cita, dalam M. Masyhur Amin, Ismail S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam & Realitas Empirik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahfudh, MA. Sahal. 2002. Bahtsu al-masail dan Istinmbath Hukum NU: Sebuah cetakan Pendek“ dalam M. Imdadu Rahmat (ed) Kritik Nalar Fikh NU .Jakarta: Lakpesdam.
Mahfudh, MA. Sahal. 2005. (Pengantar), Ahkam al-Fuqoha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU. Surabaya: Diantama.
Mardani. 2010. Hukum Islam Pegantar Ilmu Hukum di Indonesia,Cet. 1, . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Masyhuri, Aziz. 1997. Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press.
Moleong, Lexi. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhammad Hamim Ma’rifatulloh “Mutiara Hikmah Organisasi NU, Bahtsul Masail “ dalam http://excellent165.blogspot.co.id/2014/12/organisasi-nu-bahsul-masail-dan.html, diakses 22 Desember 2014
Nasution. 2002. Metodologi Research Penelitian Ilmiah. Jakarta: Budi Aksara.
Nur, Iffatin. 2013. Terminologi Ushul Fiqh. Yogyakarta; Teras.
Pujiono. 2012. Hukum IslamDinamika Perkembangan Masyarakat Menguak Pergeseran Kaum Santri. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Ridwan. 2005. Metode dan Teknik Penyusunan Tesis. Bandung: CV Alfa Beta.
Soehartono, Irawan. 2004. Metode Penelitian Sosial: Suatu Tehnik Penelitin Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung; Remaja Rosdakarya.
Syafe’i, Rahmat. 1998. Ilmu Ushul fiqh. Jakarta: Pustaka Setia.
Tafsir. Ahmad. 1999. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yahya, Mukhtar & Fatchurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung: PT. Al- Ma’arif.
Zahrah, Muhammad Abu. 2005. Ushul al-Fiqh (Terj.) Saefullah Ma’sum. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zahro, Ahmad. 2004. Tradisi intelektual NU: Lajnah Bahth al -Masail 1926-1999. Yogyakarta: LkiS.
Komentar
Posting Komentar